Berita Denpasar
Media Briefing Bahas RUU TPKS, Upaya Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disahkan menjadi RUU usul inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Selas
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Harun Ar Rasyid
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disahkan menjadi RUU usul inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Selasa 18 Januari 2022.
Sehari setelahnya, pada Rabu 19 Januari 2022 menanggapi pengesahan ini, Indonesia Joining Forces (IJF) aliansi enam organisasi hak anak bersama-sama Aliansi PKTA (Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak) dan Jaringan AKSI mengadakan media briefing bertajuk ‘Sejauhmana RUU TPKS Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual’ secara daring.
Dalam media briefing tersebut mereka menyuarakan kolaborasi dalam mengupayakan RUU PKS yang mengakomodir perlindungan anak.
Pengesahan RUU TPKS menjadi RUU Usul Inisiatif Baleg DPR RI adalah salah satu pencapaian penting dari perjuangan panjang masyarakat bersama DPR RI untuk menghadirkan instrumen hukum yang komprehensif dan berperspektif korban dalam menangani kekerasan seksual yang sudah berlangsung sejak lama.
Ketua Eksekutif Komite IJF, Dini Widiastuti, mengapresiasi inisiatif dari DPR yang telah menjadikan RUU TPKS ini sebagai RUU Usul Inisiatif Baleg DPR RI.
"Kami juga ingin mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang telah menunjukkan komitmennya dalam mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS," terang dia.
Menurutnya, pengesahan RUU ini menjadi milestone yang penting, namun perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual ini masih panjang.
Dalam briefing, IJF juga masih mencatat beberapa temuan hasil yang belum diakomodir oleh RUU dalam isu perlindungan anak, mengingat bahwa proses penyusunan RUU selanjutnya akan dilakukan oleh pemerintah melalui penyusunan DIM (daftar inventaris masalah).
"Beberapa diantaranya adalah belum adanya semua bentuk kekerasan seksual yang diatur seperti pemaksaan perkawinan, penjelasan lebih rinci terkait pencegahan dan penindakan kekerasan seksual di dan melalui perantara teknologi digital, unsur consent yang tidak relevan jika digunakan dalam berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami anak, dan berbagai temuan lainnya," paparnya.
Dini menilai, RUU ini tidak hanya menjadi tanggung jawab k-ementerian yang ditunjuk dalam implementasi RUU ini, namun juga seluruh pihak seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, komunitas seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat.
"Selain itu, penting juga untuk melibatkan anak dalam konsultasi penyusunan DIM pemerintah,” ujarnya.
Tenaga Ahli Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, Dr. Margaretha Hanita, S.H, M.Si, menyebut ada enam tantangan perlindungan korban dan pelaku kekerasan seksual anak dan masih belum diakomodir di dalam RUU TPKS.
"Beberapa diantaranya adalah saat ini di dalam Pasal 26 RUU TPKS, kewajiban melapor hanya diberikan kepada tenaga kesehatan, padahal harusnya keluarga, tenaga pendidik, masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama," ujarnya.
Selain itu, beberapa poin lain yang perlu diperhatikan adalah belum adanya poin aborsi dan pencegahan kehamilan bagi korban pemerkosaan dan terbatasnya rumah aman dinas sosial bagi korban.
Dan yang paling penting, kata dia, anak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan rehabilitasi secara paripurna sehingga akhirnya menjadi pelaku kekerasan seksual.
Dosen Tetap Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Bina Nusantara Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. juga menyampaikan beberapa catatan bagi RUU TPKS dari segi hukum.
“Perumusan RUU TPKS masih belum mampu memberikan perlindungan bagi anak korban kekerasan seksual karena perumusannya masih mencampurkan norma untuk orang dewasa dan anak-anak," kata dia.
Sehingga, ketika menyusun pasal RUU TPKS, harus ada pemisahan antara hukum untuk anak-anak dan dewasa, yang bisa dilakukan dengan pemilahan ayat.
Selain itu, terkait dengan alat bukti, anak-anak juga harus bisa diberi kekhususan dan tidak mengacu pada pasal pasal 184 KUHAP atau pasal pembuktian RUU TPKS.
Hal ini dikarenakan anak-anak sering tidak bisa menyatakan, merasakan, melihat, dan menceritakan pelaku kekerasan seksual.
"Sehingga sering, keterangan anak tidak bisa menjadi alat bukti. Dengan adanya pemilahan, proses hukum kekerasan seksual terhadap anak bisa naik ke proses pengadilan," katanya.
IJF bersama-sama Aliansi PKTA dan Jaringan AKSI juga menekankan pentingnya keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pencegahan kekerasan seksual dalam pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual pada anak.
“Jangan pernah bermimpi mencapai Indonesia yang bermartabat, selama kekerasan seksual, terutama pada anak, masih banyak terjadi dan kita tidak bangun dan bergerak untuk berjuang melawan dan menghapusnya," tandas perkawilan Jaringan AKSI, Helga Inneke.
Jaringan AKSI berkomitmen untuk menyuarakan isu kekerasan seksual dan mendorong pengesahan RUU TPKS, melalui kerja-kerja antar organisasi masyarakat sipil dan para penggerak perlindungan anak dan kesetaraan gender.
Adapun IJF merupakan kumpulan dari organisasi yang memperjuangkan hak-hak anak yang terdiri dari enam lembaga yaitu Plan Indonesia (Yayasan Plan International Indonesia), Wahana Visi Indonesia (WVI), Child Fund International di Indonesia, SOS Children’s Villages Indonesia, Yayasan Save the Children Indonesia dan Federasi International Terre des Hommes (dengan Pusat Studi dan Perlindungan Anak/PKTA.
IJF telah terlibat dalam pengawalan pengesahan RUU TPKS, salah satunya adalah memberikan masukan kepada Panitia Kerja (Panja RUU TPKS) tentang perspektif hak anak dalam rancangan RUU TPKS dalam audiensi di Badan Legislatif DPR RI pada Oktober 2021. (*)