Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak
UPDATE KASUS SUBANG: Polisi Kejar DPO dan Sebar Sketsa ke Seluruh Indonesia, Ini Ciri-ciri Pelaku
Polda Jabar dan jajarannya tengah memburu terduga pelaku yang sosoknya telah dibuat dalam bentuk sketsa wajah.
Meski polisi sudah merilis sketsa wajah terduga pelaku pembunuh Tuti Suhartini dan Amalia Mustika Ratu, namun hal itu tidak cukup untuk bisa membawa perkara ini berlanjut ke persidangan.
Kriminolog Universitas Indonesia, Prof Adrianus Meliala, sketsa itu membutuhkan fakta pendukung lain seperti gerakan tubuh, adanya pakaian yang bisa meyakinkan bahwa dialah dia.
"Ceritanya akan jadi lain, kalau polisi beranggapan cukup, lalu sketsa itu diterima jaksa. Karena pada saatnya jaksa yang akan berjuang meyakinkan hakim bahwa dialah dia.
Selagi tidak ada fakta tambahan. maka jaksa akan mengembalikan berkas tersebut itu," terang Adrianus Meliala dikutip dari tayangan Aiman, yang diunggah channel youtube Kompas TV, Selasa (4/1/2022).
Menurut Adrianus, tindakan penyelidikan yang dilakukan kepolisian ternyata banyak kelemahan, mulai dari langkah pertama saat olah TKP hingga pada pemeriksaan saksi berulang-ulang yang membuatnya bisa mengarang cerita.
Hal ini menjadi sorotan kritis kriminolog Universitas Indonesia Prof Adrianus Meliala.
Menurutnya, kelemahan pertama dalam proses penyelidikan terjadi dalam pemeriksaan forensik oleh dokter yang menurutnya kurang tepat.
Seperti diketahui, autopsi jasad Tuti Suhartini dan Amalia Mustika Ratu dilakukan lebih dari sekali.
Kepolisian sampai menerjunkan ahli forensik Mabes Polri Dr dr Sumy Hastry Purwanti untuk melakukan autopsi ulang di makam Tuti dan Amel, karena hasil autopsi pertama kurang maksimal.
Selain kelemahan forensik, menurut Adrianus, polisi saat melakukan olah TKP dinilainya jorok.
"Pada yang kedua ini, common situation atau sering terjadi, apalagi di satuan-satuan wilayah bukan perkotaan, dimana jarang mengalami kasus besar, dimana tidak terlatih anggotanya," jelas Adrianus dikutip dari tayangan AIMAN di channel Kompas TV, Senin (4/1/2022).
Selain itu, dalam kasus ini seolah-olah semua orang ingin berkontribusi, berbuat baik, tapi malah mengacaukan dan merusak TKP. sehingga ada jejak-jejak kaki.
"Ada hal-hal yang harusnya diperhatikan malah tidak diperhatikan," katanya.
Menurut Adrianus, polisi juga seringkali diganggu dengan hal-hal yang makin memperlambat kerjanya.
Polisi juga tidak bisa meng-establish apa yang di TKP adalah perawan, sehingga dibantah dan sebagainya.
"Ini ujung-ujungnya mengurangi kepercayaan kepada kepolisian," katanya.
Disinggung banyaknya kejanggalan yang ditemukan di TKP, menurut Adrianus, opini tentang kejanggalan itu muncul karena polisi tidak bisa menegakkan fakta-fakta yang kuat.
"Mestinya sejauh ini sudah ada penggambaran tentang apa yang terjadi pada detik-detik pembunuhan, itu bisa menjelaskan mengapa terjadi kejanggalan," katanya.
Dia misalkan jika pembunuhan itu dadakan atau tanpa direncanakan, tentu ada perilaku-perilaku yang dianggap aneh.
Ini berbeda jika pembunuhan itu sudah direncanakan.
Sayangnya, hingga kini polisi belum bisa mengestablish apa yang terjadi saat itu, apakah direncanakan atau tidak.
"Kedua, apakah korban dibunuh saat tidur atau masih komunikasa. Itu tidak pernah dinyatakan," katanya.
Karena polisi tidak pernah menegakkan fakta terkait ini, sehingga banyak yang berpendapat ada keanehan.
"Padahal dalam konteks kejahatan itu, kejahatan tidak pernah sempurna dan kejahatan tidak pernah mengikuti logika," ujarnya.
Disinggung apakah pembunuhan ini dilakukan profesional dengan perencanaan yang matang atau tidak? Prof Adrianus berpendapat bisa dua-duanya.
Pendapat ini beralasan karena tersedia waktu yang cukup bagi pembunuh untuk menghilangkan jejak.
"Kalau pembunuhan ini dimulai pada saat Amel terakhir berkomunikasi sekitar pukul 11.00 malam, dan ditemukan jam 05.00, maka 7 jam bisa terjadi," katanya.
Mengenai jasad korban yang diletakkan di dalam mobil Alphard, selama ini fakta itu tidak pernah ditegakkan polisi.
"Ketika jenazah dimasukkan di kendaraan, maksudnya mau dilarikan, atau sempat berpikir tapi berubah, atau pengalih saja? itu tidak dijelaskan polisi," ungkapya.
Terkait jejak pelaku, menurutnya, apakah jejak itu sudah ada atau dapat dibersihkan. Itu yang menarik menurutnya.
Artinya pembunuh ini sudah tahu cara menghilangkan jejak?
Menurut Adrianus, untuk menghilangkan jejak itu tidak harus orang yang profesional.
"Karena orang yang terencana tidak perlu profesional. Tapi, orang profesional pasti terencana," katanya.
Menurut Adrianus, situasi sekarang makin sulit karena ada kemungkinan saksi kasus ini mengarang cerita.
Hal ini bisa dimungkinkan ketika saksi diperiksa berkali-kali, namun pertanyaannya tidak direncanakan matang,
"Orang yang kita duga pelaku, berkali-kali diperiksa tanpa ada perencanaan apa yang mau ditanyakan, maka dia tidak akan menjawab berbasis apa yang diketahui, tapi dia sudah make up story, dia mengarang cerita," katanya.
Jika polisi ini akan terus memeriksa saksi berulang kali, menurut Adrianus polisi justru tidak akan menemukan fakta baru, melainkan opini-opini baru.
"Kalau orang-orang ini orang-orang kunci, maka dia akan mengarang skenario yang membuat jauh dari nya," katanya. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul UPDATE Kasus Subang: Pernyataan Terkini Polda Jabar, Sebar Sketsa ke Polres dan Polda Se-Indonesia