Serba Serbi
Nyepi Jadi Sarana Mulat Sarira, Berikut Rentetan Perayaannya
Perayaan Nyepi, dimulai dengan aktivitas upacara melasti, atau dikenal pula dengan sebutan melis dan makiyis.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Umat Hindu akan melangsungkan rangkaian hari suci Nyepi, pada 3 Maret 2022.
Nyepi pun menjadi hari yang diakui di Indonesia, dan menjadi hari libur nasional.
Nyepi pula adalah hari bergantinya tahun baru Caka.
Sesuai dengan maknanya sebagai pergantian tahun, tentu saja semua umat Hindu patut bersyukur apabila dalam pergantian tahun ini diberi kesempatan dan kesehatan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Baca juga: Jelang Pengerupukan, 4.000 Pemuda di Bangli Jalani Rapid Antigen
Kemudian diperlukan introspeksi diri (mulat sarira), untuk melangkah ke depan agar tidak salah jalan.
Menghindari yang buruk, dan meningkatkan yang baik.
Berdasarkan berbagai sumber yang dihimpun Tribun Bali, perayaan Nyepi dilakukan dalam berbagai rentetan upacara. Dan tentu saja dilengkapi dengan sarana upakara atau bebantenan.
Perayaan Nyepi, dimulai dengan aktivitas upacara melasti, atau dikenal pula dengan sebutan melis dan makiyis.
Tujuan upacara ini, adalah untuk melebur segala macam kotoran pikiran, perkataan, hingga perbuatan. Serta bertujuan memperoleh air suci, atau yang dikenal dengan tirta amerta.
Sehingga pelaksanaan melasti, identik dilakukan di laut atau segara.
Bisa pula di sumber-sumber air lainnya, seperti beji, danau, hingga sungai dan campuhan.
Tak hanya manusia yang perlu menyucikan diri dan pikiran serta perbuatannya.
Pada upacara melis ini, pratima dan pralingga, atau sarana suci sebagai wujud niyasa Tuhan juga harus dibawa ke patirtan untuk kian disucikan kembali.
Di berbagai daerah di Bali, upacara melis atau makiyis dilakukan sebelum upacara tawur agung.
Baca juga: Bandara Ngurah Rai Bali Tutup Operasional Saat Hari Raya Nyepi Selama 24 Jam
Ada pula beberapa hari sebelum tawur, namun ada yang melasti sehari sebelum Nyepi, dan tentunya sebelum tawur.
Umat Hindu biasanya akan berangkat pagi buta, sebelum matahari terbit. Dengan mengenakan pakaian adat madya serba putih.
Setelah prosesi melis, ada yang bernama upacara tawur agung kesanga.
Upacara ini bertujuan sebagai pemarisudha bhuta kala, dan pula penyucian bhuana alit dan bhuana agung.
Tawur agung adalah upaya umat Hindu, untuk nyomia bhuta kala agar tidak ngarebeda atau tetap terkendali. Sebab bhuta kala juga makhluk ciptaan Tuhan, yang hidup berdampingan dengan umat manusia.
Tujuan lain upacara tawur, adalah untuk menyucikan dan mengembalikan keseimbangan bhuana alit dan bhuana agung. Baik secara sekala (nyata) maupun niskala (tidak nyata).
Untuk itu, upacara tawur dilakukan pada sandyakala atau pergantian waktu. Khususnya siang dan sore hari, baik dari tingkat rumah pribadi, banjar, desa, kecamatan, hingga provinsi.
Ada setiap banten dan tata caranya untuk tawur ini.
Setelah tawur, dilanjutkan dengan upacara ngerupuk. Selama ini ngerupuk identik dengan ogoh-ogoh. Namun sejatinya, tak hanya itu. Sebab ngerupuk juga dilakukan pekarangan rumah masing-masing.
Karena ngerupuk adalah bagian dari pecaruan. Untuk di rumah masing-masing, ngerupuk dilakukan dengan sarana api atau obor. Lalu dibarengi dengan bunyi-bunyian. Gunanya juga menetralisir.
Baca juga: Amankan Aset Pemprov Saat Nyepi, Satpol PP Bali Turunkan Satu Peleton Pasukan
Saat ngerupuk, para pemuda-pemudi di seluruh Bali akan mengarak ogoh-ogoh. Yang pria mengarak ogoh-ogoh, sedangkan yang wanita membawa obor atau menari untuk memeriahkan acara.
Ogoh-ogoh biasanya berbentuk seram dan menakutkan, sebagai simbol bhuta kala. Tetapi tujuannya adalah memberi tempat yang nyaman, atau nyomia bhuta kala agar menjadi tenang dan damai.
Untuk itulah, ada pula banten caru dan segehan.
Namun karena pandemi akibat meluasnya virus Covid-19, dua tahun belakangan arak-arakan ogoh-ogoh ditiadakan. Agar tidak timbul klaster baru pandemi.
Kini arak-arakan diperbolehkan, namun tentu saja dengan tetap membatasi diri dan area sesuai ketentuan dari Gubernur Bali yang telah dibahas dan disetujui bersama dengan MDA dan PHDI Bali.
Ogoh-ogoh harus dibakar setelah selesai diarak keliling desa atau kampung. Agar hal negatif atau energi negatif juga sirna, berubah menjadi energi positif.
Keesokan harinya, barulah dilakukan Nyepi dengan menerapkan Catur Brata Penyepian.
Diantaranya, Amati Geni atau tidak menghidupkan api. Amati Karya atau tidak bekerja, dan berkegiatan. Amati Lelungan, tidak bepergian. Dan Amati Lelanguan, yakni tidak bersenang-senang dan pesta pora.
Semuanya ini seperti penjelasan di awal, bahwa Nyepi sebagai ajang instrospeksi diri sendiri. Dan mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, baik dam bentuk semadi maupun puasa. Memusatkan pikiran kepada beliau, agar diberi arahan dan tuntunan kebaikan dalam hidup.
Nyepi sendiri berlangsung selama 24 jam. Kemudian rentetan terakhir adalah Ngembak Geni, yang dibarengi dengan Dharma Shanti yakni bersilaturahmi dan mengutamakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kegiatan, Dharma Gita, Dharma Wacana serta hal baik lainnya. (*)