Wawancara Tokoh

Kajati Jabar Asep N Mulyana, Kasus Herry Bukan Semata Asusila

PENGADILAN Tinggi (PT) Bandung mengabulkan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat terhadap Herry Wirawan

Instagram @kejati_jabar/Istimewa via TribunJabar
Kajati Jabar Asep N Mulyana dan terdakwa kasus rudapaksa 13 santri, Herry Wirawan. 

TRIBUN-BALI.COM, BANDUNG - PENGADILAN Tinggi (PT) Bandung mengabulkan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat terhadap Herry Wirawan, terdakwa pemerkosaan terhadap belasan santri di sekolah asrama (boarding school) yang ia kelola di Bandung.

Herry, yang semula dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup, akhirnya dijatuhi hukuman mati.

Putusan, yang bukan saja sesuai dengan tuntutan JPU, tapi juga dianggap lebih memenuhi azas keadilan, mengingat begitu kejinya perbuatan terdakwa kepada belasan korbannya.

Ketua JPU, yang juga Kajati Jabar, Asep N Mulyana, menyebut kasus Herry bukanlah semata kasus asusila, tapi kejahatan kemanusiaan.

Baca juga: Herry Wirawan Pelaku Rudapaksa 13 Santriwati Diwajibkan Bayar Uang Restitusi ke Korban Rp 331 Juta

Berikut petikan wawancara eksklusif Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Adi Sasono dengan Kajati Jabar, Asep N Mulyana, di Kejati Jabar, Rabu 6 April 2022.

Kasus ini cukup fenomenal, bahkan sampai diberitakan media asing. Ini juga kasus asusila pertama yang mendapat hukuman mati. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Perlu saya sampaikan, ini bukan hanya perkara asusila.

Ini perkara kekerasan seksual terhadap anak-anak yang domainnya itu berada dalam ranah pendidikan, pondok pesantren.

Kalau tadi dikatakan fenomenal, bisa jadi iya.

Terdakwa ini melakukan tindak pidana di tempat-tempat yang selama ini kita anggap sebagai tempat yang aman, apalagi menggunakan simbol agama.

Setiap orang pasti menganggap itu adalah pendidikan yang mengedepankan Ahlak dan moral, tapi pada kenyataannya tidak seperti itu.

Kedua, berbicara tentang hukuman mati.

Saya tidak tahu persis, saya tidak punya data atau angka apakah ini hukuman mati pertama, tapi banyak juga perkara yang dituntut oleh jaksa hukuman mati.

Salah satunya, narkoba itu artinya hukum kita regulasinya sudah mengatur itu.

Kami menggunakan regulasi itu sebagai dasar untuk menggunakan tuntutan kepada pelaku yang melakukan kejahatan secara serius.

Mengapa tuntutannya hukuman mati? Apakah atensi dari masyarakat jadi pertimbangan?

Pertama, dasarnya kami peraturan perundang-undangan. Kita tahu ada peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 22-23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, itu dalam konsiderannya menyatakan hukuman yang selama ini diterapkan pada pelaku dianggap kurang memadai sebagai efek jera, dasar itu jadi pegangan kami mengajukan tuntutan.

Kedua, saya katakan ini kejahatan serius.

Bahkan JPU sepakat, ini kejahatan kemanusiaan.

Coba bayangkan, bagaimana pelaku mengeksploitasi secara seksual anak-anak menggunakan institusi pendidikan dan simbol agama.

Pelaku bahkan mengeksploitasi secara ekonomi, bagaimana anak didik dijadikan tukang tembok, membangun fasilitas rumah terdakwa.

Bantuan untuk anak-anak itu bahkan juga digunakan pelaku.

Kalau ada donator datang, uang anak-anak itu diambil dan digunakan untuk menyewa apartemen untuk melakukan perbuatan bejatnya.

Jadi, tidak ada lagi hal yang meringankan buat kami untuk menuntut selain hukuman mati.

UU membenarkan itu dan memberikan ruang kepada kami untuk menuntut maksimal pelaku.

Aktivis HAM protes karena hukuman mati ini. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya tidak mau berpolemik tentang itu, yang pasti dalam hukum positif kita masih mengakui hukuman mati.

Pertanyaannya sekarang apakah hukum positif bertentangan dengan UU 1945? Itu kan pertanyaan mendasarnya.

Baca juga: Herry Wirawan Pelaku Rudapaksa 13 Santriwati Diwajibkan Bayar Uang Restitusi ke Korban Rp331 Juta

Kalau memang bertentangan, kenapa tidak dilakukan judicial review? Selama UU itu berlaku dan menjadi eksis di negara ini, maka kami gunakan itu.

Sebelumnya, apakah ada yurisprudensi tentang kasus seperti ini harus diberi hukuman mati?

Kami ada standar melakukan tuntutan. Ada hal yang meringankan dan memberatkan serta melihat kasus-kasus sebelumnya.

Tapi dalam sistem hukum kita tidak mengenal di mana putusan hakim mengikat sepenuhnya pada hakim yang kemudian, tidak ada.

Tapi putusan sebelumnya menjadi dasar buat kami untuk mengajukan untuk terpidana.

Dari pertimbangan tadi, kemudian kerugian yang diakibatkan dari perbuatan jahat pelaku dan sangat melukai hati masyarakat, tentu menjadi dasar kami untuk mengajukan tuntutan hukuman mati.

Banyak pertimbangan, tidak semata-mata emosi dari kami JPU.

Ini sudah kami ekspose bersama dan meminta persetujuan pimpinan juga.

Ada jarak cukup lama antara vonis sampai eksekusi hukuman mati, apakah akan seperti itu?

Tentu dalam hukuman mati kita harus mempertimbangkan terpenuhinya ketentuan formal.

Jadi, apakah hak-hak terdakwa sudah terpenuhi atau tidak.

Misalnya, terdakwa punya hak untuk meminta pengampunan kepada Presiden dalam bentuk grasi.

Kedua, benar tidak identitas dan apa permintaan terakhirnya.

Banyak yang harus dipertimbangkan, karena kalau kita mengeksekusi mati tidak mungkim diulang lagi. Kalau hanya penjara bisa anulir.

Berbeda dengan hukuman mati, jadi banyak yang harus diperhatikan sebelum eksekusi.

Pemenuhan itu lama?

Untuk inkrah saja, saat ini kami masih menunggu salinan putusan resmi.

Kami belum bisa bersikap apakah menerima dari putusan ini atau kami akan mengajukan upaya hukum lain, karena kami harus mempelajari secara cermat bagaimana putusan yang dibuat PT Bandung.

Jadi tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam eksekusi hukuman mati itu.

Banyak hal terkait hak-hak bersangkutan harus sudah terpenuhi.

Apakah itu jadi ada anggapan terdakwa mendapat hukuman dua kali, penjara dan hukuman mati?

Tidak, kan itu bagian dari proses. Kan itu nanti dihitung.

Ketika sekarang tersangka ditahan penyidik, itu ada batas yang ditentukan KUHP, waktunya akan dihitung berapa lama dia ditahan, nanti dikurangi masa tahanan.

Sama halnya, bukan berarti kita melakukan eksekusi mati, seolah ada hukuman dobel, tidak. Pasti pada hukuman yang sesuai pada putusan pengadilan.

Ada contoh, kasus Sumiarsih di Surabaya, selama ditahan ada perubahan sikap yang drastis jadi lebih baik. Apakah itu jadi pertimbangan?

Kan, pembinaan terhadap warga binaan sudah pada institusi Lapas di bawah Kemenkum HAM. Mereka yang bisa menilai terhadap hal apa yang terjadi selama masa pembinaan.

Kami selalu eksekutor tentu akan mempertimbangkan bagaimana bentuk pembinaan dan perubahan sikap, makanya kami tidak serta merta.

Begitu vonis, hari ini kami tidak langsung eksekusi mati.

Dengan perubahan tadi bisa mengajukan permohonan pengampunan kepada Presiden.

Intinya, Seluruh aspek kita pertimbangkan, kita harus memperhatikan secara detail, Nyawa orang tidak bisa asal dor saja.

Pendek kata, kami akan cermat sebelum melakukam eksekusi itu, terutama formil dan materil pelaksaan eksekusi mati itu sendiri. (nazmi abdurahman)

Kumpulan Artikel Nasional

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved