Parjuma Modom, Kisah Perjuangan Hidup Orang Simalungun

Di balik kehidupan normal tersebut ternyata ada kehidupan yang tidak normal atau tidak wajar di komunitas huta tersebut yaitu Marjuma Modom.

Editor: Kander Turnip
Istimewa
Riasman Damanik, ST 

Parjuma Modom, Kisah Perjuangan Hidup Orang Simalungun

Penulis: Riasman Damanik, ST

(Pemerhati Sosial, tinggal di Jakarta)

PADA zaman dahulu, khususnya yang terjadi di Simalungun Sumatera Utara, kehidupan masih terbilang sangat tertinggal.

Indikator ketertinggalan bisa dilihat dari belum adanya listrik, makanan 100 persen bersumber dari alam dan pertanian, tidak ada akses dengan pihak luar, tidak ada sekolah, tidak ada pusat kesehatan, kehidupan hanya menikmati pergantian siang dan malam.

Berbeda dengan beberapa daerah di timur Indonesia yang hidup berpindah-pindah pada masa itu, di Simalungun penduduk secara komunitas (huta) sudah hidup menetap dan bertetangga.

Huta (kampung) merupakan salah satu pusat tempat tinggal untuk malam hari.

Hal ini ditengarai betujuan agar manusia merasa aman dari hewan liar dan gangguan alam lainnya.

Sehingga lokasi huta pun dicari tempat yang paling aman.

Huta inilah yang menjadi sentral perjumpaan penduduk dalam melakukan aktivitas malam, termasuk upacara adat istiadat setempat.

Sehingga terjadi interaksi antara individu yang memunculkan berbagai macam kegiatan tradisional yang secara umum sekarang kita sebut adat istiadat yang bersifat seni dan budaya sesuai dengan naluri manusia sebagai makhluk hidup.

Jika melihat kondisi di tanah Simalungun waktu itu, kehidupan masyarakat berada di bawah kekuasaan kerajaan.

Sehingga norma-norma kehidupan diatur oleh pihak kerajaan yang tentunya sesuai dengan keinginan raja.

Pola pemerintahan kerajaan memiliki struktur yang diatur sesuai dengan kebutuhan kerajaan dan keluarganya.

Masyarakat biasa tidak ada pilihan lain kecuali hidup dalam kekuasaan raja, baik itu untuk kebutuhan sendiri dan kebutuhan raja yang tidak terlepas dari memenuhi kebutuhan makanan/minuman dan berperang.

Setelah berkembangnya zaman di era kemerdekaan Indonesia dan runtuhnya kekuasaan kerajaan (revolusi sosial Simalungun tahun 1946), pola hidup masyarakat  berubah menjadi lebih mandiri, namun tetap hidup secara berkelompok dalam suatu huta.

Biasanya akan muncul tokoh lokal yang menjadi penatuai yang disebut gamot. Kalau di daerah lain semacam kepala suku.

Dalam satu huta pada umumnya ditempati oleh penduduk yang masih berkaitan antarkeluarga (ada hubungan tali darah) dan bahkan dalam satu rumah tempat tinggal (jabu) ditempati oleh beberapa keluarga yang biasa disebut jabu banggal.

Jabu banggal ini dibangun bersama-sama dengan bergotong-royong (marharoan bolon) memakai bahan yang diambil dari hutan (bahan alam) dan biasanya dibangun tinggi di atas tiang balok kayu (martukkarang).

Tujuan martukkarang ini utamanya supaya manusia aman dari hewan liar di bawah. Saya sendiri pernah menikmati jabu martukkarang yang dibangun pada 1970-an.

Ciri-ciri satu huta (kampung) adalah terdapat beberapa jabu (na etek dan na banggal, tergantung jumlah anggota keluarga), dekat dengan sumber air, ada balei sarana perjumpaan (acara adat lokal), ada losung (untuk mengolah padi menjadi beras), ada juga kodei (warung), ada parsinumbaham, ada bah paridian, dan lain-lain.

Nah, dalam huta ini bisa dikatakan hanya sebagai tempat tinggal saja, sedangkan ladang pertanian (juma) tersebar di sekitarnya, baik yang jauh dan dekat.

Setiap penduduk melakukan perjalanan berangkat pagi ke ladang (juma) dan sore kembali ke huta.

Demikian seterusnya setiap hari. Begitulah kehidupan yang normal dan wajar waktu itu.

Di balik kehidupan normal tersebut ternyata ada kehidupan yang tidak normal atau tidak wajar di komunitas huta tersebut yaitu Marjuma Modom.

Kalau didefinisikan secara sederhana, marjuma artinya berladang. Modom artinya tidur. Jadi marjuma modom bisa diartikan tidur di ladang.

Secara realitas, kehidupan parjuma modom (orang yang tinggal di ladang) ini tidak ada tempat tinggal di huta.

Dia tinggal hanya di gubuk (sopou) di ladang. Biasanya terpencil.

Tidak ada interaksi langsung secara rutin dengan komunitas karena tidak pernah ke huta (pusat tempat tinggal). Hidupnya hanya menyendiri di ladang.

Mengapa dan bagaimana bisa muncul penduduk yang menjadi parjuma modom?

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang atau sebuah keluarga marjuma modom, antara lain:

1. Dia pendatang baru dari daerah lain dan tidak ada hubungan keluarga dengan penduduk di huta tersebut dan ladangnya biasanya berupa pemberian orang lain.

2. Seseorang atau keluarga yang dikucilkan dengan berbagai alasan, misalnya karena penyakit, melanggar norma adat atau menjalani hukuman.

3. Keluarga yang baru menikah dan tidak mampu membuat jabu (rumah) di huta.

4. Keluarga yang memiliki lahan dan sedang panen pertanian yang banyak (melimpah). Sehingga perlu dijaga dari ancaman hewan liar dan pencuri.

5. Orang yang bekerja hingga larut malam oleh karena perlu waktu lebih banyak, misalnya pargula (pembuat gula aren) karena api harus menyala 24 jam, pekebun tembakau (gulung tambakau malam-malam setelah dijemur siang hari), dan lain-lain.

Parjuma modom secara negatif pada umumnya juga jarang ikut kegiatan huta, bahkan cenderung terkucilkan dalam kehidupan sehari-hari. Juga mereka bisa dianggap sebagai kaum pinggiran (marjinal).

Namun secara positifnya parjuma modom merupakan pekerja keras di ladang untuk memberikan hasil panen yang banyak.

Biasanya dalam kondisi ini, mereka memiliki lahan pertanian yang luas dan panennya melimpah.

Kemudian ada semangat yang menggebu ingin segera membuat rumah (jabu) di huta, bahkan bisa lebih besar dari rumah yang sudah ada.

Setelah berkembangnya aksesibilitas ke lokasi huta serta masuknya pendidikan dan penginjilan ke tanah Simalungun, hidup marjuma modom ini semakin hilang.

Kalaupun masih ada satu dua, biasanya dilakukan karena terpaksa.

Hilangnya budaya marjuma modom ini sejalan dengan kondisi yang disebutkan di atas, yakni sudah ada gereja, sekolah, pusat kesehatan dan pajak (pasar) yang lebih modern.

Pada era sekarang parjuma modom dimaknai sebagai suatu bentuk tanggungjawab oleh karena pekerjaan yang jauh dari tempat tinggal.

Parjuma modom modern sudah bisa naik kereta api, mobil dan pesawat.

Alasan utama parjuma modom modern adalah jarak yang sangat jauh dan biasanya ini dilakukan dalam waktu sementara atau durasi pendek, bukan menetap.

Spirit parjuma modom adalah bekerja keras yang bertanggungjawab untuk mendapat hasil baik dan bahkan rela meninggalkan keluarga untuk sementara waktu.

Ada pengalaman lucu ketika penulis mengalami marjuma modom di ladang Sihubu di Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, beberapa waktu lalu.

Waktu itu di tengah hari siang bolong yang terik sekali, penulis bekerja mengangkat daun tembakau dan menggeser jemuran tembakau di ladang. Pekerjaan yang sungguh melelahkan.

Sehingga mulut kering dan tenggorokan terasa teramat haus.

Penulis kemudian berlari ke sopou dan mengambil minum pada sebuah botol di atas para-para. Dengan reflek, penulis langsung menenggak  cairan itu.

Seketika itu juga spontan penulis tarsinggok (terbatuk keras) dan muntah sambil berteriak karena merasa sakit. Ternyata cairan di dalam botol itu adalah minyak tanah (di Simalungun, biasa disebut minyak lampu). (*)

PENULIS Riasman Damanik ST lahir di Simalungun, 21 September 1975. Dan kini tinggal di Jakarta. Riasman juga Ketua Pokja Kajian dan Pengembangan, GKPS Cililitan Jakarta.

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved