serba serbi
BRAHMANA Sejati Bukan Hanya Dari Kelahiran, Pahami Maknanya Secara Mendalam
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, memberikan pemikirannya dalam tulisan yang membahas ihwal Brahmana di dalam Hindu Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM - Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, memberikan pemikirannya dalam tulisan yang membahas ihwal Brahmana di dalam Hindu Bali.
Dalam masyarakat Hindu, mengenal adanya tiga kerangka agama yang terdiri dari Tattwa (filsafat), Susila (etika), dan Acara (ritual).
Ketiga hal ini, sangat penting dalam kehidupan keagamaan Hindu.

Baca juga: WALAKA dan Bedanya Dengan Sulinggih Dalam Hindu Bali
Kesadaran dan semangat keberagamaan Hindu di Indonesia, kini semakin maju.
Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya, jumlah umat Hindu di luar Bali.
Maraknya pembangunan tempat-tempat suci.
Bertambahnya jumlah pemangku (pinandita), dan pandita di seluruh Indonesia.

Guna mendukung kebangkitan dan semangat spiritual ini.
"Maka perlu didukung sastra-sastra yang bersumber dari sastra Weda, sebagai landasan untuk pelaksanaannya," ucap pensiunan dosen UNHI Denpasar ini.
Dalam kitab suci Weda, disebutkan bahwa Catur Warna (Brahmana, Ksatria, Wesia dan Sudra), diciptakan dari guna dan karma.
Dengan demikian brahmana, atau orang yang menekuni bidang spritual.
Atau pula orang yang menuju kesucian, tidaklah dilahirkan tetapi harus dibentuk melalui pendidikan menuju kebrahmanan.

Jalan satu-satunya untuk menjadi brahmana, kata beliau, adalah berlindung kepada guru (nabe).
Orang-orang suci yang telah sadar diri, di dalam pengetahuan spiritual.
Kemudian setelah sadar dan mencapai kesucian, serta pengetahuan yang cukup.
Barulah seorang guru (nabe) akan mensucikan, sehingga menjadi seorang brahmana.
Baca juga: WALAKA dan Bedanya Dengan Sulinggih Dalam Hindu Bali
Kemudian bagaimana dengan brahmana sejati?
Dalam kehidupan keagamaan Hindu, maka mereka yang tergolong sebagai pandita atau sulinggih, telah memasuki golongan yang disebut 'brahmana'.
"Brahmana yang dimaksud ini, bukan brahmana karena dari kelahiran.
Namun brahmana dari pelaksanaan dan tugas-tugas kesehariannya.
Sehingga pada dasarnya, hidup sebagai seorang brahmana, adalah sangat berat hukumnya.

Sehingga tidak sembarang orang, dapat digolongkan sebagai seorang brahmana.
Hidup sebagai seorang brahmana sejati, imbuh beliau, harus lulus dari syarat-syarat kebrahmanan yang sangat sulit sekali.
Karena menjadi brahmana sejati, adalah sangat mulia dihadapan Sang Pencipta (Brahman) atau Tuhan.
Sebagai yang menciptakan segala isi dunia ini.
Baca juga: WALAKA dan Bedanya Dengan Sulinggih Dalam Hindu Bali
Dalam Weda Smrti atau Manawa Dharmasastra I.96. disebutkan:
Diantara semua ciptaanNya, mahluk hidup adalah yang paling tinggi.
Diantara mahluk hidup, yang punya pikiran adalah yang paling tinggi.
Diantara yang punya pikiran, manusialah yang paling tinggi.
Diantara manusia Brahmanalah yang paling tinggi.

"Dalam sloka di atas, jelas disebutkan bahwa sebagai brahmana mempunyai kedudukan tertinggi dari semua mahluk dihadapan Sang Pencipta atau Tuhan," jelas beliau.
Disamping sloka itu, maka ada sloka lain dalam Weda Smrti atau Manawa Dharmasastra I.97.
Disebutkan, diantara brahmana maka yang ahli Weda adalah yang tertinggi.
Diantara yang ahli Weda, yang mengetahui makna dan cara-cara melaksanakan tugas yang tertinggi.
Diantara yang mengetahui makna dan cara-cara tugas yang telah ditentukan, yang melaksanakan upacara, adalah yang tertinggi.
Baca juga: PHDI Bali Minta Masyarakat Tak Menghujat Sulinggih Meski Terbukti Bersalah, Sudiana: Karma Berjalan
Diantara yang melaksanakan upacara, yang mengetahui Brahman adalah yang tertinggi.
Dari Sloka ini, ditegaskan lagi bahwa seorang brahmana dituntut mengetahui tentang segala hal.
Tidak hanya sebagai pendeta yang ahli dalam Weda.
"Ia (brahmana) juga harus mengetahui hakekat dari Brahman (Tuhan) itu sendiri," tegas beliau.
Apabila hal itu dapat dilakukan, maka ia adalah seorang brahmana sejati.

Serta kedudukannya sangat tinggi di hadapan Sang Pencipta (Tuhan).
Menjadi seorang brahmana sungguh sangat mulia.
Gelar brahmana bukanlah ditentukan oleh atribut, pakaian atau rumah.
Kebrahmanan seseorang juga bukan didapat, dengan cara-cara yang bertentangan dengan hakekat kebrahmanan.
Sebab menjadi seorang brahmana, bukanlah sebuah tujuan.
Melainkan suatu tahapan ke jalan penyatuan dengan Brahman (Tuhan). (*)