Berita Bali
Sidang Dugaan Suap Pengurusan DID Tabanan, Saksi Ungkap Peran Terdakwa Wiratmaja
Lanjutan kasus DID Tabanan, Wiratmaja jalani agenda pembuktian di Tipikor Denpasar. Majelis hakim geram dengan kesaksian Ngurah Satria.
Penulis: Putu Candra | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja menjalani agenda pembuktian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Bali, Kamis 23 Juni 2022.
Ada tujuh saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk didengar keterangannya di persidangan.
Terdakwa yang merupakan dosen Universitas Udayana sekaligus mantan Staf Eka Wiryastuti didudukan di kursi pesakitan terkait kasus dugaan suap pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan.
Sidang diawali dengan memeriksa keterangan tiga saksi, yakni mantan Sekda Tabanan I Nyoman Wirna Ariwangsa, I Gede Urip Gunawan selaku Kepala Inspektorat Kabupaten Tabanan (2014 - 2021) dan I Gusti Ngurah Satria Perwira yang menjabat sebagai Kepala Sub Auditor BPK RI Perwakilan Bali.
Baca juga: Kasus Dugaan Suap Pengurusan DID Tabanan, Tim Hukum Eka Bacakan Keberatan di Persidangan Hari Ini
Dari keterangan para saksi, terdakwa Wiratmaja sebagai staf khusus Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti memiliki peran besar.
Wiratmaja diizinkan memberikan masukan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Tidak hanya soal keuangan, Wiratmaja juga bisa memberikan masukan dan rekomendasi lelang jabatan.
Tahun 2017, Pemkab Tabanan mengalami defisit anggaran, Wiratmaja pun mendapat misi khusus dari Eka Wiryastuti untuk memperjuangkan DID ke pemerintah pusat.
Padahal, status Wiratmaja hanya sebagai staf khusus bupati yang tidak masuk dalam struktur organisasi Pemkab Tabanan.
"Terdakwa (Dewa Nyoman Wiratmaja) bertanggung jawab langsung pada Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti," terang Wirna di hadapan majelis hakim pimpinan I Nyoman Wiguna.
Wirna mengungkapkan, Eka Wiryastuti juga memerintahkan dirinya selaku sekda agar berkoordinasi dengan Wiratmaja terkait keuangan daerah.
Misalnya menangani audit BPK dan memberikan masukan penyusunan APBD.
"Pada pertengahan 2017 APBD Tabanan defisit Rp 40 miliar," terangnya.
Mendengar keterangan itu, tim jaksa penuntut KPK langsung menanyakan penyebab anggaran defisit.
Wirna menjawab karena belanja daerah lebih banyak dari pendapatan.
Menurutnya tahun sebelumnya ada, tapi tidak sebesar itu.
Lantaran kondisi defisit itu, Eka Wiryastut kemudian memanggil Wiratmaja, Wirna, dan beberapa orang lainnya.
Dalam pertemuan itu muncul usul memperjuangkan dana DID.
Namun, saat tim jaksa KPK mengejar siapa yang memunculkan ide mencari dana ke pusat, Wirna seolah menutupi.
Wirna enggan berterus terang dan jawabannya berbelit-belit.
Tak pelak ini membuat hakim ketua I Nyoman Wiguna geram dan mengingatkan Wirna.
"Saudara sebagai saksi sudah disumpah, berikan jawaban yang benar," cetus jaksa penuntut KPK.
Jaksa penuntut KPK lantas membacakan ulang BAP.
"Di BAP ini fakta dan keterangan saudara sendiri, jangan ditutup-tutupi," tegas anggota tim penuntut KPK.
Akhirnya Wirna pun mengaku ada arahan bupati Eka Wiryastuti pada Agustus 2017.
Kata Wirna, dalam pertemuan dengan bupati dihadir terdakwa Wiratmaja.
Eka Wiryastuti memberikan arahan agar berjuang mendapat DID sebesar yang diperoleh Kabupaten Buleleng.
Pada 2017 Buleleng mendapat DID sebesar Rp 55 miliar, sedangkan Tabanan hanya mendapat Rp 7,5 miliar.
Wiratmaja disebut terbang ke Jakarta berjuang mengusahakan DID.
Saat itu jumlah yang diusulkan Rp 65 miliar.
Namun, jumlah yang cair hanya Rp 51 miliar.
Hakim pun kembali mempertanyakan dengan adanya peningkatan DID yang didapat Pemkab Tabanan, dari Rp 7,5 miliar melonjak menjadi Rp 51 miliar.
Hakim menanyakan proses pengajuan DID pada Wirna, tapi Wirna tidak memberikan jawaban jelas.
Katanya ada berbagai faktor, salah satunya penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI.
Namun di sisi lain, Wirna mengaku tidak mengetahui proses pengajuan DID.
"Saya tahunya ada itu (DID Rp 51 miliar) setelah membaca surat dari Badan Keuangan Daerah," terangnya.
"Anda ini sekda sebagai jabatan PNS tertinggi di Tabanan sekaligus pengguna anggaran, kok tidak tahu," tanya tim jaksa KPK heran.
"Sungguh saya tidak tahu, saya tahunya setelah Agustus ada dana DID Rp 50 miliar. Saya tidak tahu prosesnya, tahunya malah belakangan setelah ada surat dari badan keuangan," jawab Wirna kembali.
Jaksa penuntut KPK kemudian menyinggung nama Bahrulah Akbar, Wakil Ketua BPK RI.
Setelah didesak, Wirna mengaku pernah mendengar pengusulan DID melalui jalur BPK yaitu Bahrulah Akbar.
Bahrulah Akbar diminta untuk menjembatani dengan orang di Kementerian Keuangan.
Sementara itu, saksi I Gede Urip Gunawan dalam keterangannya mengaku berhubungan dengan Wiratmaja hanya dalam hal menyusun laporan keuangan.
"Terdakwa sebagai ahli akuntansi dalam penyusunan neraca keuangan," terangnya.
Urip sempat mengelak tidak mengetahui peran terdakwa Wiratmaja dalam mengurus DID.
Akhirnya jaksa penuntut KPK pun memutar rekaman percakapan antara Urip dengan terdakwa Wiratmaja di muka persidangan.
Dalam percakapan itu, Urip mengaku dihubungi I Gusti Ngurah Satria Perwira Kepala Sub Auditor BPK RI Perwakilan Bali.
"Saya dihubungi Pak Ngurah Satria, katanya DID bisa naik, tapi perlu penghubung," ungkap Urip dalam percakapan itu.
"Saya disuruh ke Jakarta secara khusus untuk mengurus ini," jawab Wiratmaja sebagaimana dalam rekaman.
"Oh, berarti sudah nyambung, sudah klir," ucap Urip.
Terdakwa Wiratmaja menyanggah rekaman yang diputar itu.
Menurutnya rekaman itu tidak utuh. Ada bagian-bagian yang tidak masuk dalam BAP.
Hakim meminta terdakwa untuk menyampaikan itu dalam pledoi.
Menariknya dalam sidang, majelis hakim mencecar saksi I Gusti Ngurah Satria Perwira.
Majelis hakim tampak geram dengan kesaksian Ngurah Satria yang menyebut hanya memberikan informasi.
Hakim anggota, Nelson pun menyebut dengan memberikan informasi pada terdakwa, saksi tak ubahnya menjual jabatan.
Hakim Astawa tak kalah galak, Ngurah Satria disebut seperti calo yang memberikan jalan pada orang lain.
Hakim menganggap perbuatan Ngurah Satria ini bukan pertama kalinya.
Namun, Ngurah Satria tetap mengaku baru pertama.
Sebelum menutup sidang untuk pemeriksaan ketiga saksi ini, hakim ketua I Nyoman Wiguna memberikan nasihat pedas pada Ngurah Satria.
"Anda sebagai orang BPK itu lebih baik pecah di perut daripada pecah di mulut. Anda jangan ember dengan hasil pemeriksaan. Pemeriksaan itu tidak boleh diinformasikan," ingatnya dengan nada tinggi.
Hingga berita ini ditulis, sidang masih dilanjutkan memeriksa keterangan empat orang saksi.(*).

Kumpulan Artikel Bali