Berita Bali
Pacar Ibu Sering Siksa Nay, Dipukul, Ditendang Hingga Dihukum Lari Sampai Lemas
Pelaku juga menenggelamkan kepala korban ke dalam sebuah ember hitam sebanyak 4 kali.
Penulis: Putu Honey Dharma Putri W | Editor: I Putu Darmendra
TRIBUN-BALI.COM - Reskrim Polsek Denpasar Selatan menangkap Novi dan Yohanes Paulus Maniek Putra alias Jo alias Dedi (39).
Penangkapan dilakukan di tempat kos mereka di Jalan Kertadalem Sari, Sidakarya, Denpasar, Rabu 20 Juli 2022 pukul 11.00 Wita.
Novi adalah ibu kandung Nay (4), bocah telantar di Jalan Bedugul, Sidakarya dengan luka lecet, memar dan lebam di sekujur tubuh, bocah yang meringis menahan sakit karena kakinya patah.
Sedangkan Jo atau Dedi adalah pacar Novi.
Kasi Humas Polresta Denpasar Iptu I Ketut Sukadi menagatakan, setelah mendapat laporan bocah telantar, Panit II Opsnal Ipda Wayan Sudarsana dan tim mendatangi lokasi.
Baca juga: Bocah Telantar Itu Ternyata Korban Perpisahan Orangtua, Hilang Kontak Sejak April 2021
Dari hasil interogasi terhadap korban, pelaku penganiayaan bocah telantar adalah Dedi, pacar ibunya Nay.
Setelah mendapat informasi lebih lengkap, Tim Opsnal kemudian mendatangi kos Dedi dan Novi di Jalan Kertadalem Sari dan menangkap keduanya.
Saat itu mereka bersembunyi di kamar kos, bersama dua orang lainnya. Jo dan Novi kemudian digiring ke Polsek Densel.
Pengakuan Pelaku
Kepada polisi, Dedi mengakui perbuatannya menganiaya Nay karena kesal akibat Nay tidak mau tidur dan jika ditanya tidak mau menjawab.
Pelaku menganiaya Nay dengan cara memukul menggunakan tangan kosong ke arah perut, mencubit perut, memaksa korban push up dan lari sampai lemas dan jatuh.
Tidak hanya itu, pelaku menarik kaki Nay lalu memaksa menekuk supaya dilipat ke belakang kepala, ini yang mengakibatkan paha Nay patah.
Pelaku juga menenggelamkan kepala korban ke dalam sebuah ember hitam sebanyak 4 kali.
Pelaku juga mengaku menganiaya korban sekitar 6 kali dengan cara menjambak rambut, memukul pakai sisir, menampar wajah, dan menendang pinggul korban.
Harus Usut Tuntas
Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, Ni Luh Gede Yastini sangat prihatin dengan peristiwa penelantaran anak yang terjadi di Jalan Bedugul Sidakarya, Denpasar.
Apalagi anak tersebut sebelumnya mengalami penyiksaan. Kini ia berharap ayah kandungnya bisa menjaga Nay dengan baik.
"Pertama kita prihatin ada orangtua yang melakukan itu pada anaknya. Karena kita tahu anak itu dirawat oleh ibunya diambil dari bapaknya. Sekarang kita fokus pada penyembuhan anaknya," jelasnya, Rabu 20 Juli 2022
Selain itu pada Dinas terkait juga harus memastikan psikologis anak dan kesiapan orangtua merawat anaknya agar tidak telantar lagi dan mengalami kekerasan dalam hal apa pun.
"Untuk orang yang menelantarkan anak ini saya harap polisi harus mengusut karena anak itu ditelantarkan dan terluka secara fisik dan psikis agar tidak menelantarkan dan meninggalkan anak di jalan," tambahnya.
Jika berdasarkan undang-undang, pelaku penelantaran anak diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Sebelumnya anak tersebut telah diasuh oleh ayahnya lalu dibawa kabuar ibunya. Setelah dengan ibunya kemudian anak tersebut ditinggalkan begitu saja.
"Terlepas siapa pun yang melakukan hukum tidak memandang siapa pun bahkan orangtua sekali pun bisa menjadi pelaku kekerasan pada anak harus diusut penelantaran yang dilakukan orang yang membawa anak itu. Kenapa bisa patah? Itu juga harus ditelusuri oleh kepolisian," imbuhnya.
Ia berharap Dinas terkait juga harus melakukan assigment terlebih dahulu sebelum memastikan bahwa benar-benar keluarganya dapat mengasuh anak tersebut dengan baik. Dipulihkan terlebih dahulu psikologis dan fisik dari anak tersebut.
"KPPAD karena fungsinya pengawasan kita sudah koordinasi dengan Dinsos dan teman-teman di Denpasar kami masih komunikasikan dan melakukan pengawasan dan memastikan supaya anak ini benar-benar mendapatkan perlindungan dan penanganan dengan baik yang dilakukan," tandasnya.
Ketua Yayasan Lentera Anak Bali (LAB), Anak Ayu Sri Wahyuni mengatakan, dilihat dari segi kesehatan mental, anak tersebut tidak hanya menjadi korban, melainkan anak tersebut juga menjadi saksi terhadap perlakuan salah oleh orangtua yang seharusnya memberikan perhatian kasih sayang dan hak-hak sebagai anak.
“Anak tidak sekolah saja itu sudah termasuk kasus penelantaran anak, apalagi sampai patah tulang kemudian ditelantarkan dan ditinggalkan di suatu tempat dengan keadaan tidak berdaya. Itu termasuk tindakan kekerasan terhadap anak dan melanggar undang undang perlindungan anak,” jelasnya.
Sering kali pelaku dari kasus-kasus seperti ini adalah orang terdekat, seperti orangtua, baik itu kandung maupun sambung. Melihat history anak yang merupakan korban perceraian, Wahyuni menuturkan hal ini menjadi salah satu faktor penyebab kejadian.
Korban dipastikan tidak mendapatkan perlakuan yang sesuai dan pengasuhnya tidak menjamin terpenuhinya hak anak. Penganiayaan dan penelantaran terhadap anak ini memberikan dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mentalnya.
Wahyuni yang juga merupakan seorang psikiater menjelaskan perjalanan pemulihan kesehatan mental menjadi tantangan terberat yang harus dilewati oleh korban dan seluruh pihak. Pemulihan ini akan membutuhkan waktu panjang sehingga sangat diperlukan bantuan seluruh pihak pemerhati anak, termasuk wali kota dan jajaran.
“Walaupun pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal, trauma anak akan dirasakan seumur hidup jika tidak ada intervensi segera. Hal ini penting untuk dilakukan agar korban tidak menjadi pelaku yang sama dengan hal yang dialami atau mengalami depresi berat,” jelasnya.
Jika tidak ditangani segera, korban berpotensi menjadi seorang yang takut melakukan interaksi dengan orang lain. Korban bisa menjadi seorang yang introvert dan kesulitan meningkatkan kemampuan belajar. Reaksi setelah kekerasan terjadi memberikan dampak yang berlaku sepanjang hidup korban.
Pengurus Ketua Bidang Pelayanan Kesehatan dan Sosial PMI Provinsi Bali ini menambahkan, orangtua sering lupa ada undang undang yang melindungi anak. Fenomena seperti ini, menurutnya, seperti fenomena gunung es di Kota Denpasar karena orangtua merasa memiliki kuasa terhadap anak sehingga berlaku semena-mena.
Kondisi ini juga diperburuk dengan masalah sosial ekonomi, pekerjaan yang sulit, padat perumahan sehingga bisa terjadi kekerasan terhadap anak. Dimulai dengan kekerasan verbal kemudian lanjut ke kekerasan fisik, mental, dan yang saat ini mulai terjadi adalah kekerasan seksual.
Belajar dari kejadian ini, Wahyuni mengimbau para orangtua segera menghubungi lembaga pemerhati anak atau pemerintah apabila merasa tidak mampu untuk mengasuh anak.
Bbagi masyarakat yang melihat anak mendapatkan kekerasan diharapkan berani untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang. (*)