Berita Buleleng

PJ Bupati Buleleng Turun Pantau Harga Cabai, Minta Jajaran Jangan Hanya Rapat untuk Tekan Harga

Pj Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana saat memantau harga cabai di Pasar Anyar, Rabu (14/9) subuh.

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Harun Ar Rasyid
Tribun Bali/Ratu
Pj Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana saat memantau harga cabai di Pasar Anyar, Rabu (14/9) subuh. 

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Cabai rawit masih menjadi salah satu pemicu inflasi di Buleleng.

Harga per kilonya masih tergolong tinggi.

Pj Bupati Buleleng, Ketut Lihadnyana pun kecewa akan hal ini.

Ia meminta seluruh jajarannya, tidak hanya menggelar rapat dalam mengendalikan inflasi. Melainkan segera turun ke lapangan.

Pj Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana saat memantau harga cabai di Pasar Anyar, Rabu (14/9) subuh.
Pj Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana saat memantau harga cabai di Pasar Anyar, Rabu (14/9) subuh. (Tribun Bali/Ratu)

Dari pantauan Tribun Bali, Lihadnyana melakukan pemantauan harga komoditi di Pasar Banyuasri dan Pasar Anyar, Kecamatan Buleleng, sejak pukul 05.00 wita.

Dari pemantauan itu, harga cabai rawit masih tergolong tinggi.

Berada dikisaran Rp 48 ribu hingga Rp 50 ribu per kilogram.

Melihat harga cabai masih tinggi, Lihadnyana pun geram.

Bahkan pasokan cabai rawit di Pasar Banyuasri terlihat lebih sedikit, sehingga harganya relatif lebih mahal.

Untuk itu, ia meminta kepada Perumda Pasar Argha Nayottama, Perumda Swatantra, Dinas Pertanian hingga Dinas Perdagangan segera turun kelapangan, mengatasi lonjakan harga cabai ini.

"Produksi cabai di petani sebenarnya ada. Tapi kalau barangnya di pasar tidak ada, harganya akan naik. Saya perintahkan Perumda Pasar, Perumda Swatantra, Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan, jangan rapat-rapat terus lah. Lebih baik eksekusi langsung ke lapangan. Saya minta dalam beberapa hari ini harus turun. Kalau dibiarkan, daya beli masyarakat nanti akan turun," tegasnya.

Ia juga menugaskan jajarannya, untuk menyerap seluruh produk cabai dari petani lokal yang ada di Desa Tambakan, Pakisan, Bebetin dan Gobleg.

Selanjutnya cabai-cabai tersebut dijual ke pedagang yang ada di pasar. Hal ini dilakukan untuk memutus rantai pengepul, agar harga tidak semakin melonjak.

"Perumda Pasar harus segera eksekusi ini. Jangan rapat-rapat terus, tidak perlu itu. Lebih baik ke lapangan, putuskan di lapangan sehingga hasilnya lebih cepat dan jelas dan nyata. Dinas Pertanian itu kantornya sekarang di lapangan, sampai ini stabil. Kalau harga bawang dan telur sudah turun, itu dari hasil kerja nyata Perumda Swatantra. Saya harap harga cabai dalam beberapa hari ini juga segera turun," tandasnya.

Sementara Direktur Utama (Dirut) Perumda Pasar Argha Nayottama Made Agus Yudiarsana mengatakan, sejak dua hari yang lalu pihaknya sejatinya telah membuka gerai alias menjual cabai dari petani lokal kepada pedagang di pasar.

Namun cabai ditegaskan Yudiarsana sangat fluktuatif, harganya bisa naik atau turun dalam hitungan jam.

"Dua hari kemarin, cabai di Pasar Banyuasri sebenarnya ada. Cuma saat inspeksi, kebetulan kosong. Ya memang harus kami sikapi, sesuai arahan Pj Bupati. Seluruh produk cabai petani lokal harus kami drop semua. Panem cabai memang berulang-ulang, tapi sekali panen kadang hanya 25 hingga 50 kilo. Ini persoalannya," terangnya.

Terkait target yang diberikan, agar harga cabai segera turun dalam beberapa hari kedepan, Yudiarsana mengaku akan merubah strategi.

Dari sebelumnya, menyerap cabai di satu petani kemudian langsung didistribusikan ke pasar, kini diubah dengan menyerap cabai langsung dibebeberapa titik sekaligus.

"Satu titik itu memang sekali panen kisaran hanya 50 kilo. Itu kami serap kemudian langsung didistribusikan. Sekarang strateginya kami ubah, kami cari semua titik yang siap panen, baru didistribusikan ke pedagang. Kami akan kolaborasi dengan Dinas Pertanian karena mereka yang tau dimana saja yang siap panen," terangnya.

Disisi lain, salah satu pedagang cabai di Pasar Anyar, bernama Made Rian Susanti (33) menyebut, harga cabai rawit yang ia beli dari Perumda Pasar sebesar Rp 42 ribu per kilo. Cabai itu kemudian dijual ke konsumen sebesar Rp 48 ribu per kilo.

Mengingat harga cabai saat ini cukup tinggi, Susanti pun mengaku tidak berani menjualnya dalam jumlah yang banyak. Sebab pembeli juga ikut menurun, sementara cabai tidak tahan lama, alias cepat membusuk. "Biasanya saya beli cabai di pengepul 20 kilo.

Sekarang hanya 10 kilo saja. Karena yang beli juga sepi. Omset penjualan saya juga turun. Kalau biasanya dapat Rp 3 juta per hari, sekarang paling banyak Rp 1.5 juta. Ini terjadi sejak harga BBM naik," katanya. (rtu)

Baca juga: Hektaran Cabai di Sinduwati Rusak, Petani Gagal Panen

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved