Serba Serbi

Makna Tilem Katiga, Ini Persembahan dan yang Dilakukan

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, pemujaan kepada gelap atau Tilem itu jelas sekali ditujukan kepada Siwa.

Dok. Tribun Bali
Ilustrasi - Makna Tilem Katiga, Ini Persembahan dan yang Dilakukan 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Minggu 25 September 2022, merupakan perayaan bulan gelap pada bulan ketiga sesuai kalender Bali atau sasih katiga.

Sehingga disebut Tilem Katiga yang dirayakan umat Hindu khususnya di Bali.

Selain Tilem Katiga juga bertepatan dengan Kajeng Kliwon.

Apa makna dan yang harus dilakukan?

Baca juga: Saat Tilem Kanem Persembahkan 1 Sesayut Widyadari

Saat Tilem Katiga lakukan pemujaan saat malam hari.

Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga, atau hening.

Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat.

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, pemujaan kepada gelap atau Tilem itu jelas sekali ditujukan kepada Siwa.

Menurutnya, dalam Jnyana Sidantha disebutkan di dalam matahari ada suci, di dalam suci ada Siwa, di dalam Siwa ada gelap yang paling gelap.

Hal itulah yang menyebabkan Tilem mendapatkan pemuliaan.

Guna mengatakan di daerah Bangli ada Pura Penileman, di mana setiap Tilem dilakukan pemujaan di sana.

"Di Pura Penileman dilakukan pemujaan kepada Siwa, karena ada warga masyarakat yang nunas (meminta) pengidep pati atau sarining taksu jelas sudah Siwa. Bukti arkeologis ada arca Dewa Gana yang merupakan putra Siwa,” katanya.

Sehingga dalam konteks kebudayaan di Bali yang dimuliakan bukan bulan terang saja atau Purnama, tapi gelap yang paling gelap juga dimuliakan.

Sementara itu, dalam buku Sekarura karya IBM Dharma Palguna halaman 9 dikatakan, kepada kita para Guru Kehidupan (dan Guru Kematian) mengajarkan agar menghormati gelap, tidak kurang dari hormat pada terang.

Hormat pada gelapnya bulan mati (Tilem) tidak kurang dari hormat kita pada terang bulan Purnama.

Disebutkan lebih lanjut dalam buku itu pada halaman 10, pembelaan Mpu Tan Akung kepada gelap yaitu gelap tidak harus dihindari atau diusir dengan mengadakan terang buatan.

Tapi dengan memasukinya, menyusupinya, meleburkan diri di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam diri.

Saat Tilem atau bulan mati, umat Hindu wajib untuk mengenyahkan segala dosa, noda, dan kekotoran dari dalam diri.

Dalam lontar Sundarigama juga disebutkan.

Mwang tka ning tilem, wenang mupuga lara roga wighna ring sarira, turakna wangi-wangi ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring widyadari widyadara, sabhagyan pwa yanana wehana sasayut widyadari 1, minta nugraha ri kawyajnana ning saraja karya, ngastriyana ring pantaraning ratri, yoga meneng, phalanya lukat papa pataka letuh ning sarira.

Artinya:

Pada saat Tilem, wajib menghilangkan segala bentuk dosa, noda, dan kekotoran dalam diri.

Dengan menghaturkan wangi-wangian di sanggar atau di parahyangan, dan di atas tempat tidur, yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadara.

Akan lebih baik jika mempersembahkan 1 buah sesayut widyadari untuk memohon anugerah agar terampil dalam melaksanakan segala aktivitas.

Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga, atau hening.

Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat.(*).

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved