Berita Bali

Fenomena Pura-Pura Kerauhan di Bali Jadi Gejala Gangguan Mental dan Wujud Pelecehan Dukun Ketakson

Maraknya fenomena pura-pura kerauhan yang terjadi akhir-akhir ini di Bali, jadi gejala gangguan mental dan wujud pelecehan terhadap dukun ketakson.

Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Putu Kartika Viktriani
TB/Istimewa
Ilustrasi Depresi - Maraknya fenomena pura-pura kerauhan yang terjadi akhir-akhir ini di Bali, jadi gejala gangguan mental dan wujud pelecehan terhadap dukun ketakson. 

Fenomena Pura-Pura Kerauhan di Bali Jadi Gejala Gangguan Mental dan Wujud Pelecehan Dukun Ketakson

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Warga Bali pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya "kerauhan".

Kerauhan sendiri kerap disaksikan saat upacara adat atau agama serta kegiatan-kegiatan tertentu dan sering terjadi secara tiba-tiba.

Kini, kerauhan menjadi topik yang sangat fenomenal, apalagi sejak adanya lagu "Hobby Kerawuhan" yang dinyanyikan oleh Ary Kencana bersama Marco Wisesa.

Dr. Drs. Ida Bagus Suatama, M.Si seorang Pengusada Bali mengatakan kerauhan tidak disebutkan secara sembarangan.

Kerauhan atau dalam usada disebut juga dengan Ketakson harus dilakukan oleh seseorang yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi Ketakson.

 

Syarat-syarat tersebut antara lain, adanya sakralisasi diri, dilakukan di tempat tersendiri, menggunakan pakaian tersendiri, memiliki Ista Dewata tersendiri, dan ada yang mapinunas.

Kerauhan yang sering dilihat di pura-pura tertentu menurut Bagus Suatama adalah hal yang sah-sah saja.

Baca juga: Hujan Deras Sejak Semalam, Longsor dan Pohon Tumbang di Dua Jalan Berbeda di Payangan Gianyar

Namun, belum tentu orang yang dilihat kerauhan itu dapat disebut dengan ketakson.

"Kalau ketakson digunakan sebagai mediator, sementara Ista dewatanya sebagai operator, jadi harus lengkap dan terpenuhi syarat-syaratnya," kata Suatama.

Siapa sangka pula, kerauhan ternyata terbagi menjadi beberapa jenis.

Pertama adalah Kerauhan Dewa Hyang, ciri-cirinya adalah tutur katanya sangat halus dan memiliki aura yang menyejukan.

Orang-orang yang kerauhan Dewa Hyang akan menunjukan mudra atau sikap-sikap tertentu yang halus seperti seorang Dewa.

Kedua adalah kerauhan Bhuta Kala, yang mana orang yang kerauhan Bhuta Kala ini akan memohon sesuatu atau labang.

Ketiga adalah Kerauhan Bebayi atau penyakit.

Orang-orang yang kerauhan bebayi tutur katanya atau raosnya sangat kasar dan sembarangan.

"Terakhir adalah kerauhan stres yaitu kerauhan abal-abal yang bertujuan agar dirinya terlihat hebat," kelakar Suatama memecahkan suasana.

Baca juga: Sejumlah Bencana Alam Terjadi di Gianyar Akibat Hujan Deras, Terbanyak di Kecamatan Payangan

Untuk memastikan seseorang benar-benar kerauhan, orang-orang yang ketakson tersebut boleh diuji.

Pengujiannya sendiri bukan dilakukan dengan menyodorkan api atau menyiram dengan air panas, melainkan dengan mengajukan pertanyaan.

"Tanya saja siapa saya, siapa disamping saya.

Kalau dia tidak bisa jawab bisa saja itu bohong atau dia pura-pura kerauhan," ujar Suatama.

Lelaki yang merupakan Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia ini menjelaskan orang yang pura-pura ketakson kemungkinan besar ada gangguan mental.

Gangguan mental yang diderita dalam usada disebut "adyatmika duka", artinya orang sakit kelemahan mental karena tinggi ambisi dan emosi.

Kerauhan bukanlah sesuatu yang bisa diniatkan dari diri sendiri dan terencana.

Kedua hal tersebut tidak diperbolehkan karena berarti sudah berniat membohongi diri dan orang lain.

Orang yang berpura-pura ketakson agar dianggap sebagai titisan Bhatara atau leluhur bisa jadi merupakan orang yang putus asa.

Baca juga: Sosok Putu Rian, YouTuber yang Jadi Korban Jalan Ambrol di Bangli, Kerap Buat Konten Mancing di Bali

Oleh karena itu, orang-orang seperti ini perlu diperiksakan kesehatan jiwanya.

Suatama melihat saat ini banyak fenomena kerauhan yang tidak benar dan diunggah di media sosial.

Ia mengatakan tindakan seperti itu merupakan bentuk pelecehan terhadap para dukun ketakson.

"Banyak saya lihat di media sosial seperti Tik Tok orang kerauhan yang abal-abal yang isinya bahkan ada yang memberi "nomor judi"

Itu sangat tidak benar dan merupakan bentuk pelecehan kepada mereka yang bekerja sebagai dukun ketakson," tegasnya.

Suatama berharap Kerauhan merupakan bagian perilaku agama yang sangat sakral agar tidak dipertontonkan secara rendahan.

Kerauhan ini perlu dijaga dengan baik dan jangan sampai disalahgunakan oleh orang yang tidak benar.

Ia juga berharap semua orang dapat menjaga kesehatan mentalnya dengan melakukan bakti kepada Tuhan, yoga atau meditasi.

Dengan demikian, manusia dapat menjaga kestabilan mental, mampu mengendalikan emosi, dan mampu mengontrol ambisi yang menjadi pintu gerbang menuju neraka. (yun)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved