36 Orang Ikut Pelatihan Penanggulangan Terorisme Bersenjata Biologis dan Kimiawi di Denpasar

36 Orang Ikut Pelatihan Penanggulangan Terorisme Bersenjata Biologis dan Kimiawi di Denpasar

Editor: Harun Ar Rasyid
foto: antara/ho-kedubes as
DILATIH-Peserta dari Indonesia dan Malaysia mengikuti pelatihan antiterorisme dari Pemerintah Amerika Serikat di Denpasar, Bali, Jumat (4/11). 

Denpasar, Tribun Bali – Setidaknya, 36 peserta dari Indonesia dan Malaysia mengikuti pelatihan antiterorisme yang digelar di Denpasar oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS).
Pemberian pelatihan itu merupakan bagian dari upaya Deplu AS untuk turut berperan dalam memperkuat kemampuan Indonesia dan Malaysia dalam penanggulangan aksi terorisme yang menggunakan bahan kimia, biologi, radiologi, dan nuklir (KBRN).

Kantor Urusan Senjata Pemusnah Massal Terorisme (WMDT) Deplu AS bekerja sama dengan Merrick & Company dan konsultan keamanan At-Risk International dalam memberikan pelatihan penanggulangan terorisme menggunakan senjata biologis atau kimiawi tersebut.

Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur WMDT Deplu AS, Constantinos Nicolaidis, dalam keterangan tertulis yang diterima di Denpasar, Sabtu (5/11), mengatakan pelatihan itu merupakan wujud komitmen Pemerintah AS untuk bersikap proaktif dalam mencegah aksi terorisme, terutama yang menggunakan bahan kimia, biologi, radiologi, dan nuklir.

"Sangat sering bukti percobaan teroris atau aktor non-negara lainnya menjadi jelas setelah serangan. Oleh karena itu, kemampuan untuk proaktif mengantisipasi ancaman sangatlah penting," kata Nicolaidis.
Para peserta pelatihan itu merupakan pejabat pembuat kebijakan terkait antiterorisme, penyidik, ahli material KBRN, serta jaksa.

Selama lima hari, para peserta mendapatkan pelatihan secara menyeluruh mengenai kemampuan investigasi dan aksi lain yang dapat mencegah pelaku teror mendapatkan akses terhadap bahan kimia, biologi, radiologi, dan nuklir, terutama yang berpotensi menjadi senjata.

Tidak hanya itu, peserta juga mendapat pelatihan menggunakan pendekatan berbasis komunitas untuk mengidentifikasi ancaman perilaku teror.

Metode BTAM (behavioral threat assessment and management) memungkinkan aparat penegak hukum untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan guna mengidentifikasi, menganalisis, dan menanggulangi potensi ancaman dari individu yang berpotensi melakukan aksi teror.
Dengan demikian, jelas Nicolaidis, aparat penegak hukum dapat memiliki kemampuan lebih baik dalam mengidentifikasi perilaku-perilaku mencurigakan, yang umumnya diperlihatkan para pelaku teror sebelum mereka bertindak.

Terorisme merupakan kejahatan lintas batas yang menjadi persoalan dunia, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Pemerintah AS menilai banyak kelompok teroris berupaya membuat senjata pemusnah massal dengan menggunakan bahan biologi dan kimia. Sedangkan kemampuan aparat penegak hukum mencegah pelaku teror mendapatkan bahan-bahan tersebut masih cukup rendah.

Oleh karena itu, Deplu AS bermitra dengan negara-negara di dunia untuk memperkuat kemampuan komunitas internasional mencegah dan menanggulangi ancaman teror itu.
"Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia adalah mitra penting dalam upaya ini," ujar Nicolaidis.(ant)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved