Rebo Wekasan

Jelang Perayaan Tradisi Rebo Wekasan, Inilah Ritual Adat yang Dilakukan di Berbagai Daerah

Inilah macam-macam ritual adat yang ada di berbagai daerah di Indonesia dalam menyambut tradisi Rebo Wekasan.

Editor: Muhammad Raka Bagus Wibisono Suherman
Kompas.com/Ira Rachmawati
Warga dan nelayan Pantai Waru Doyong, Kelurahan Bulusan, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (17/12/2014), menggelar selamatan pada tradisi Rabu Pungkasan(KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI) 

TRIBUN-BALI.COM – Inilah macam-macam ritual adat dalam menyambut tradisi Rebo Wekasan di berbagai daerah di Indonesia.

Tradisi Rebo Wekasan sendiri akan jatuh pada besok, Rabu, 13 September 2023.

Hal tersebut sesuai dengan artinya yakni hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Jawa.

Tradisi Rebo Wekasan sendiri memang selalu jatuh pada tanggal, 27 Safar 1445 Hijriah.

Safar merupakan bulan kedua setelah Muharram dalam kalender Islam.

Baca juga: Dianggap Hari Tersial Sepanjang Tahun, Inilah Sejarah Rebo Wekasan, Tersedia 3 Versi Cerita

Baca juga: Rebo Wekasan Segera Tiba! Inilah Mitosnya, Dilarang Keluar Rumah Jika Tak Ingin Alami Kesialan

Itu artinya, apabila kita melihat pada kalender Masehi, maka Rebo Wekasan akan jatuh tepat hari esok, Rabu, 13 September 2023.

Selama masa tradisi Rebi Wekasan, banyak sekali kegiatan-kegiatan adat istiadat yang dilakukan. Mulai dari tahlilan atau zikir berjemaah, shalat sunah, dan berbagai makanan dalam bentuk selamatan.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk menolak bala atau kesialan atau energi-energi negatif di sekitar kita.

Namun, ada juga ritual-ritual adat lainnya yang dilakukan di setiap daerah di Indonesia dalam menyambut Rebo Wekasan, penasaran?

Dilansir dari Kompas.com, berikut adalah ritual-ritual adat yang dilakukan di berbagai daerah:

Di Aceh, Rebo Wekasan lebih dikenal dengan istilah Makmegang. Ritualnya berupa berdoa di tepi pantai dipimpin oleh seorang Teungku, dan diikuti oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dan berbagai elemen warga Aceh.

Di Jawa, tradisi Rebo Wekasan biasanya dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai dengan caranya masing-masing.

Misalnya di Banten dan Tasikmalaya, tradisi Rebo Wekasan dilakukan dengan melaksanakan shalat khusus bersama pada pagi hari di Rabu terakhir bulan Safar.

Di Banyuwangi, tepatnya di Pantai Waru Doyong, tradisi Rebo Wekasan diperingati dengan mengadakan tradisi petik laut.

Selain itu, ada pula tradisi Rebo Wekasan di Banyuwangi yang diadakan dengan cara makan nasi yang dibuat secara khusus di tepi jalan.

Ada juga di Kalimantan Selatan, tradisi Rebo Wekasan disebut Arba Mustamir, yang diadakan dengan berbagai cara, seperti shalat sunah dan disertai doa tolak bala.

Asal-usul Rebo Wekasan

Dikutip dari Kompas.com, tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo.

Kala itu, banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.

Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa.

Kegiatan tersebut bertujuan agar Allah menjauhkan mereka dari segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan.

Kendati demikian, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan baru muncul pada awal abad XVII di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.

Tersedia 3 Versi Sejarah Lahirnya Rebo Wakesan

Inilah sejarah lahirnya tradisi Rebo Wakesan yang telah tertanam di sebagian masyarakat Indonesia.

Versi Pertama

Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784. Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit.

Masyarakat meyakini bahwa Kiai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Al Quran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien.

Kemampuan Mbah Kiai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I).

Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan HB I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kiai Faqih menghadap ke keraton.

Ternyata, ilmu Mbah Kiai terbukti dan mendapat sanjungan. Sepeninggal Mbah Kiai Faqih, masyarakat pun meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

Versi Kedua

Upacara Rebo Wekasan tak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret.

Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600. Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit.

Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk. Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kiai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.

Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit.

Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.

Versi Ketiga

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya.

Untuk itu, masyarakat zaman dahulu berusaha menolaknya dengan meminta bantuan kepada orang atau Kiai yang dianggap lebih mumpuni.

Kiai Welit, saat itu, diminta membuat tolak bala berbentuk rajah yang dimasukkan ke dalam air untuk mandi agar terhindar dari bahaya.

Karena semakin banyak orang yang meminta, Kiai Welit pun menemukan cara baru, yakni dengan memasang rajah diKali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan begitu, masyarakat cukup mengambil air atau mandi di kali tanpa mendatangi Kiai Welit. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Sejarah dan Asal Mula Rebo Wekasan yang Jatuh pada 21 September 2022.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved