Berita Bangli

TABRAKAN Maut di Kintamani Bangli Tewaskan Putu N, Korban Menabrak Wadak, Apa Itu Wadak?

Kecelakaan tersebut dialami seorang pelajar, bernama I Putu N. Naasnya, pelajar berusia 13 tahun itu meninggal dunia di tempat kejadian.

ISTIMEWA
Polisi saat melakukan olah TKP pasca kejadian kecelakaan. Selasa (30/4/2024) 

TRIBUN-BALI.COM - Tragedi kecelakaan kembali terjadi di Bali, sayangnya kali ini menelan korban jiwa

Tabrakan maut terjadi di ruas jalan Belantih - Kintamani, Bangli, Bali Selasa (30/4/2024).

Kecelakaan tersebut dialami seorang pelajar, bernama I Putu N. Naasnya, pelajar berusia 13 tahun itu meninggal dunia di tempat kejadian.

Kapolsek Kintamani, Kompol I Nengah Sukerna, saat dikonfirmasi membenarkan adanya musibah kecelakaan tersebut. Kecelakaan terjadi sekitar pukul 19.30 Wita.

Dijelaskan, kecelakaan melibatkan seorang pelajar berusia 13 tahun asal Desa Belantih, Kintamani.

Kejadian berawal saat pelajar bernama I Putu N mengendarai sepeda motor Honda Beat DK 4704 KAJ.

"Kendaraan tersebut datang dari arah barat dengan tujuan kearah timur," ujarnya Rabu (1/5/2024).

Sesampainya di kawasan pemukiman wilayah Banjar Mabi, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, kendaraan tersebut menabrak sapi jantan yang diliarkan (duwe). Yang oleh warga sekitar disebut wadak.

Baca juga: DANAU Batur Tercemar Parah, Pemkab Bangli Harapkan Kontribusi Pemerintah Pusat Dalam Penanganannya

Baca juga: BUPATI Giri Prasta Terima Audiensi Wabup Karangasem, Simak Pembicaraannya

Ilustrasi - Sesampainya di kawasan pemukiman wilayah Banjar Mabi, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, kendaraan tersebut menabrak sapi jantan yang diliarkan (duwe). Yang oleh warga sekitar disebut wadak.
Ilustrasi - Sesampainya di kawasan pemukiman wilayah Banjar Mabi, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, kendaraan tersebut menabrak sapi jantan yang diliarkan (duwe). Yang oleh warga sekitar disebut wadak. (tribun bali/dwisuputra)

 

Putu N tak sadarkan diri pasca mengalami kecelakaan. Dari hasil pemeriksaan petugas medis, diketahui ia mengalami luka patah tulang rahang, patah pergelangan tangan kiri, lebam di bagian dada, luka lecet pada bagian kepala, serta luka lecet pada telinga.

"Yang bersangkutan meninggal dunia ditempat kejadian," imbuhnya.

Sementara Kanit Laka Satlantas Polres Bangli, Ipda I Ketut Karya, saat dikonfirmasi terpisah mengungkapkan, sebelum kejadian Putu N baru saja membeli makan di salah satu restoran cepat saji, yang berlokasi di simpang empat Belantih.

"Saat itu ia hendak pulang ke rumahnya. Yang bersangkutan tidak mengenakan helm saat keluar membeli makan," ucapnya.

Ipda Ketut Karya menambahkan, pasca kejadian jenazah sempat dilarikan ke puskesmas untuk diperiksa petugas medis. "Saat ini jenazah sudah di rumah duka dan hari ini mau dikubur," tandasnya.

 

Apa Itu Wadak?

Berdasarkan pemberitaan Tribun Bali beberapa waktu lalu, masyarakat di wilayah Kintamani, Bangli, Bali, khususnya di wilayah Selulung, percaya bahwa sapi yang telah dihaturkan akan menjadi duwe bhatara.

Oleh masyarakat, duwe ini kerap disebut dengan wadak.

Bendesa Adat Selulung, yang kala itu dipimpin I Wayan Karmawan, menjelaskan upacara penyucian ini merupakan tradisi secara turun-temurun yang diperkirakan telah diwariskan sejak ratusan tahun silam.

Tradisi ini digelar melalui upacara penyucian khusus pada sebuah ritual yang disebut ngaturang bakti pengeleb pada hari baik menjelang Anggarkasih.

“Kata ngeleb ini artinya liar. Dalam hal ini sapi yang seharusnya diikat, dihaturkan untuk selanjutnya dilepas atau diliarkan.

Anggara Kasih ini setiap bulan selalu ada, namun kembali lagi pada keyakinan orang yang akan ngaturang.

Kalau memang sedang hari baik, pada Anggara Kasih itu bisa lima ekor sapi yang dihaturkan.

Sedangkan alasan harus Anggara Kasih karena bisa diikuti oleh banyak krama, sebab pada saat itu digelar sangkepan Anggara Kasih,” jelasnya.

Duwe wadak ini jumlahnya tidak hanya satu satu ekor saja, melainkan hingga puluhan ekor.

Meski diliarkan, wadak memiliki perbedaan dengan sapi peliharaan masyarakat.

Ilustrasi sapi - Duwe wadak ini jumlahnya tidak hanya satu satu ekor saja, melainkan hingga puluhan ekor.

Meski diliarkan, wadak memiliki perbedaan dengan sapi peliharaan masyarakat.
Ilustrasi sapi - Duwe wadak ini jumlahnya tidak hanya satu satu ekor saja, melainkan hingga puluhan ekor. Meski diliarkan, wadak memiliki perbedaan dengan sapi peliharaan masyarakat. (Istimewa)

Perbedaan yang mencolok, wadak memiliki tubuh lebih besar serta lebih bersih dibandingkan sapi yang dipelihara.

Selain itu hidung wadak juga tidak ditusuk. Tradisi ini juga menguntungkan bagi masyarakat sekitar.

Karmawan menyebut, dengan diliarkan sapi-sapi peliharaan, masyarakat tidak perlu upaya inseminasi buatan.

Di lain sisi, Karmawan juga menegaskan ada sanksi bagi siapapun yang melakukan kejahatan kepada duwe tersebut.

“Bagi siapapun yang melakukan kejahatan apapun bentuknya, seperti melukai, membunuh, menabrak, menjual, akan terkena sanksi secara niskala.

Bisa pelaku yang sakit, keluarganya yang sakit, terkena musibah, dan sebagainya. Dan ini sudah terbukti. Sedangkan solusinya, ia harus membayar pengganti perbuatannya,” ucap Karmawan.

Sementara untuk menjadi wadak, sapi bisa berasal dari masyarakat perseorangan maupun dari desa.

Dengan catatan, sapi telah cukup umur dan belum ditusuk hidungnya.

“Kenapa ada dari masyarakat, bisa karena faktor murni ingin ngaturang atau bisa jadi yang bersangkutan pernah melakukan perbuatan jahat yang ternyata duwe wadak.

Sehingga ia harus mengembalikannya. Faktor perbuatan ini bisa karena dia tahu namun tidak yakin,” katanya.

Seperti dikatakan sebelumnya, tradisi ngaturang bakti pengeleb ini tidak terlepas dari sejarah upacara terdahulu.

Berdasarkan cerita leluhur, di wilayah Selulung dulunya ada upacara besar dan wajib digelar, yang disebut upacara mabiaya.

Salah-satu sarana wajib untuk mewujudkan upacara tersebut yakni dengan menggunakan darah warak atau dikenal dengan badak.

“Seiring perkembangan zaman, populasi warak mengalami penurunan. Oleh para leluhur dicari solusinya, dan akhirnya dilakukan upacara penyucian sapi untuk keberlangsungan upacara mabiaya ini. Maka dari itu, sapi ini setelah diupacarai berubahlah menjadi wadak,” jelasnya.

Meski demikian, upacara mabiaya kini sudah tidak dilakukan.

Karmawan mengatakan, kemungkinan salah-satu penyebabnya karena upacara tersebut sudah terlalu lama, dan generasi berikutnya tidak ada yang tahu bagaimana prosesi upacara tersebut.

Sedangkan dari sisi keyakinan dan kepercayaan, lanjut Karmawan, leluhur krama Selulung menganut kepercayaan Siwa.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved