Ulah Pati di Bali
Agama dan Adat Bukan Barometer untuk Deteksi Kesehatan Mental, Ulah Pati di Bali Naik 20 Persen
Bali dengan kegiatan pariwisatanya yang selalu disorot dunia malah sumbangkan angka ulah pati tertinggi
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pulau Dewata sumbangkan angka bunuh diri tertinggi secara Nasional dibandingkan Provinsi lain.
Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, tingkat bunuh diri di Bali mencapai angka 3,07 persen.
Hal ini serupa dengan temuan tim evakuasi BPBD Kota Denpasar yang hampir setiap bulannya melakukan evakuasi korban bunuh diri di Kota Denpasar.
Belakangan santer juga diberitakan dua kakak beradik asal Kubutambahan, Buleleng nekat loncat ke Jembatan Tukad Bangkung, Plaga, Badung karena himpitan ekonomi.
Baca juga: LAGI Ulah Pati di Bangli, Polisi Cari Tahu Motif Kematian Nengah Armika, Ditemukan di Pohon Durian
Tribun Bali pun telah mewawancarai Yayasan Bali Bisa Helpline untuk mencari informasi apa saja yang melatarbelakangi kasus bunuh diri tinggi di Bali.
Operational Manager Yayasan Bali Bisa Helpline, Agus Endrawan mengatakan Bali dengan kegiatan pariwisatanya yang selalu disorot dunia malah sumbangkan angka bunuh diri tertinggi, tentunya membuat semua pihak merasa miris.
Menurutnya, apapun itu secara keseluruhan di Indonesia masalah kesehatan mental itu masih sebuah stigma dan hal yang masih belum semua orang ketahui.
“Masih barang yang baru di Indonesia. Padahal sebenarnya apapun itu factor dari kesehatan mental itu yang benar-benar menjadi peranan penting. Sebenarnya keinginan untuk menyakiti diri sendiri yang terjadi karena merasa sendiri, tak ada yang bisa membantu, merasa semua sudah buntu tidak tahu harus kemana tidak ada yang menolong,” jelasnya pada Selasa 2 Juli 2024.
Baru berdiri pada tahun 2021, Yayasan Bali Bisa Helpline ini sudah menerima ribuan kali aduan dari clientnya terkait persoalan bunuh diri di Bali.
Karena begitu tingginya minat konsultasi masyarakat terkait bunuh diri, kini Yayasan Bali Bisa Helpline pun telah menyediakan layanan callcenter dengan system yang dapat menghandle hingga 1.200 aduan per bulannya.
Juga disediakan tools modul pelatihan untuk para operator yang berbasis sukarelawan untuk bisa menjadi teman dengar yang baik bagi masyarakat yang memang struggle untuk masalah kesehatan mentalnya yakni seperti depresi, cemas, adiksi, atau apapun permasalahan mental yang lain.
Biasanya, faktor utama orang melakukan bunuh diri di Indonesia karena ekonomi dan keluarga.
Kenapa keluarga? Karena biasanya pada orang yang mengalami gangguan pada kesehatan mental akan mendapatkan stigma dari keluarganya.
Contohnya misalnya ada orang depresi sering kali dikatakan karena kurang bersembahyang, kurang melakukan pekerjaan yang memang bermanfaat untuk diri sendiri.
Jika dibandingkan pada tahun 2021 lalu, kasus bunuh diri di Bali semakin meningkat.
Bali Bisa Helpline pun telah melakukan studi orang yang melakukan bunuh diri di Bali meningkat 20 persen di tahun 2024.
Baca juga: NEKAT Ulah Pati di Bangli, Gadis 18 Tahun Depresi Akibat Tekanan Ekonomi
Karena banyaknya stigma, juga kurangnya kesadaran orang untuk melaporkan kasus bunuh diri.
Misalnya di Bali ada namanya Ulah Pati jadi begitu orang itu bunuh diri tidak dilaporkan karena dianggap Ulah Pati dan ada awig-awig yang jelas untuk itu.
Yang pasti di Indonesia factor laporan untuk kasus bunuh diri itu 300 persen under reporting.
Misal di Bali ada 100 kasus bunuh diri sebenarnya 400 orang bunuh diri, 300 orang sisanya ada reporting karena dengan ada tradisi yang mungkin secara tradisinya malu untuk melaporkan kalau ada saudaranya yang bunuh diri.
“Sebenarnya penyakit kesehatan mental ini ada namun tidak terlihat secara fisik jadi dikesampingkan oleh faktor utama yakni dukungan keluarga tidak ada. Jadi tendensi orang bunuh diri tidak ada support system yang bisa membantu mereka untuk mengcopy masalah-masalah yang mereka rasakan,” ujarnya.
“Penyebab bunuh diri di Bali terjadi karena di Bali budaya spiritual tinggi jadi apapun masalah yang dirasakan selalu disangkutpautkan dengan agama, adat dan tradisi. Misalnya ada yang stres masih bisa dilakukan assgement, namun sudah dicap orang gila, kurang sembayang, kurang melakukan ritual-ritual yang bisa memperbaiki mental. Karena apapun itu agama bukan satu-satunya barometer untuk deteksi orang itu punya kesulitan mental atau tidak,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Clinical Bali Bisa Helpline, Hilman Gobel Hilman mengatakan rata-rata usia orang yang melakukan bunuh diri di Bali di bawah 30 tahun.
Dalam perkembangan zaman banyak sekali yang merekam secara live saat melakukan aksi bunuh diri sehingga membuat bunuh diri menjadi semacam penyakit social yang mana hal-hal seperti itu nampak biasa saja.
Belum lagi keterbukaan informasi sehingga para pelaku bunuh diri ini bisa melakukan self diagnostic, di mana mereka mencari tahu di internet tentang kesehatan mental mereka akhirnya mereka mediagnosa diri mereka sendiri.
Mereka menstigma diri mereka bukannya pergi mencari bantuan, malah mereka selesaikan sendiri apalagi stigma dari masyarakat orang dengan gangguan kesehatan mental itu dicap orang gila.
“Banyak client kami yang mereka memiliki gangguan kesehatan mental dicap oleh keluarganya sudah gila. Sebenarnya mereka butuh support, orang yang mau bunuh diri mereka butuh tempat untuk didengar,” ucap, Hilman.
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.