Berita Nasional

Bijak dan Hati-hati Saat Ikuti Saran Pengobatan Kesehatan dari AI

Setiaji, S.T, M.Si, berpesan agar masyarakat tetap bijak menyerap informasi kesehatan yang disajikan oleh AI.

Pexels
Ilustrasi HP. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tren penggunaan Artificial Intelligence (AI) seperti Chat GPT dan chatbot AI semakin meningkat, salah satunya untuk mencari informasi kesehatan. 

Fenomena ini menunjukkan kemudahan masyarakat dalam mengakses segala informasi karena AI memberikan jawaban cepat terhadap berbagai pertanyaan umum terkait kesehatan.

Teknologi AI memungkinkan masyarakat memperoleh wawasan awal mengenai gejala atau kondisi yang mungkin sedang mereka alami. 

Hal ini menjadi nilai positif karena dapat meningkatkan kesadaran dan memotivasi masyarakat untuk lebih proaktif menjaga kesehatan mereka.

Baca juga: Perkuat Ekosistem Digital, Telkom & Alibaba Cloud Kerjasama, Fokus Pengembangan Cloud Berbasis AI

Chief of Technology Transformation Office (TTO) Kementerian Kesehatan RI, Setiaji, S.T, M.Si, berpesan agar masyarakat tetap bijak menyerap informasi kesehatan yang disajikan oleh AI.

“Saat menggunakan Chat GPT atau chatbot berbasis AI serupa lainnya untuk kesehatan, penting bagi masyarakat untuk memperlakukan informasi yang dihasilkan sebagai titik awal pencarian dan tidak sebagai dasar untuk tindakan pengobatan atau menganggapnya sebagai sebuah diagnosis medis,” pesan Setiaji dalam keterangan tertulisnya, Kamis 2 Januari 2024.

Ia menambahkan, teknologi AI memang menawarkan kemampuan untuk memberikan respons cepat dan wawasan yang bermanfaat berdasarkan data yang telah diprogram di dalamnya. 

“Namun, setiap informasi yang diperoleh harus melalui proses validasi lebih lanjut oleh dokter atau tenaga kesehatan profesional,” imbuhnya.

Menurut Setiaji, meskipun AI dapat memberikan jawaban yang terlihat meyakinkan, teknologi tersebut tidak mampu mempertimbangkan kompleksitas faktor yang memengaruhi kondisi kesehatan individu.

“Masyarakat juga harus waspada dan kritis terhadap kesalahan atau ketidakcocokan informasi yang disajikan oleh AI. Tidak semua jawaban yang dihasilkan oleh chatbot berbasis AI akurat atau relevan untuk setiap situasi klinis,” katanya.

“Ini menekankan pentingnya untuk tidak terlalu bergantung pada jawaban yang diberikan oleh AI tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut,” sambung Setiaji.

Lebih lanjut, Setiaji mengatakan, teknologi AI beroperasi berdasarkan algoritma yang menggeneralisasi data untuk menghasilkan jawaban yang paling mungkin terjadi. 

Dalam konteks klinis, gejala serupa dapat berasal dari berbagai penyakit.

“Teknologi AI mungkin menunjukkan beberapa kemungkinan tanpa dapat menentukan mana yang paling relevan untuk pasien, karena tidak dilakukan analisis klinis yang lebih mendalam. Misalnya, batuk dan demam bisa merupakan indikasi flu biasa, Covid-19, atau kondisi serius lainnya seperti pneumonia,” lanjutnya.

Ia menyampaikan tanpa pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan analisis kontekstual lebih lanjut oleh dokter, diagnosis yang dihasilkan AI tersebut bisa saja menyesatkan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved