Berita Gianyar

Krama Desa Adat Calo Gianyar Gelar Tradisi Tarian Api, Bersihkan Diri Dan Alam Dari Hal Negatif

Jero Mangku Wayan Wastika mengatakan, upacara Tabuh Geni ini dilaksanakan saat ngusaba puseh dan bale agung, sesuai dengan kondisi desa adat. 

istimewa
Tradisi tabuh Geni di Desa Adat Calo, Kecamatan Tegalalang, Gianyar, Bali, Rabu 15 Januari 2025 - Krama Desa Adat Calo Gianyar Gelar Tradisi Tarian Api, Bersihkan Diri Dan Alam Dari Hal Negatif 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Krama Desa Adat Calo, Kecamatan Tegalalang, Gianyar, Bali memiliki tradisi sakral, yakni Tabuh Geni atau tarian api. Digelar pada Rabu 15 Januari 2025 malam kemarin. 

Tradisi yang berkaitan dengan upacara piodalan di Pura Puseh dan Bale Agung setempat ini, bermakna sebagai bentuk penetralisir hal negatif pada diri manusia dan alam semesta. 

Prosesi Tabuh Geni ini juga dimaknai sebagai bentuk penyucian diri ke tingkat yang lebih tinggi.

Karena merupakan tradisi sakral, sebelum tarian api berlangsung, krama adat terlebih dahulu melakukan berbagai ritual ala Hindu Bali yang berpusat di Pura Puseh dan Bade Agung Desa Adat Calo. 

Baca juga: Parade Budaya Meriahkan HUT ke-3 InJourney di Kawasan The Nusa Dua Bali

Setelah rentetan prosesi upacara berlangsung, dilanjutkan persembahyangan yang diikuti oleh jero mangku, tetua adat, pemuda dan krama adat lainnya.

Setelah itu, para penari api ini mengitari sarana upakara piodalan, setelah itu barulah masuk ke dalam bara api tanpa mengenakan alas kaki. Api diinjak dan ditendang. 

Meskipun secara logika hal tersebut sangat berbahaya. Namun dalam tradisi sakral ini, para penari laiknya sedang menginjak dan menendang kerikil. Tanpa sedikit pun tersirat ada rasa panas dari raut wajah mereka.

Jero Mangku Wayan Wastika mengatakan, upacara Tabuh Geni ini dilaksanakan saat ngusaba puseh dan bale agung, sesuai dengan kondisi desa adat. 

"Biasanya dilaksanakan setiap sasih kepitu bergantian. Digelarnya upacara ini untuk memohon keselamatan masyarakat dan alam semesta," ucapnya.

Krama setempat, Jipayana Putra mengatakan, saat mengikuti tradisi tersebut ia sama sekali tidak merasakan adanya rasa panas saat menginjak dan menendang api. 

Selain itu, perasaannya pun saat itu terasa nyaman, tidak apa rasa takut maupun amarah. Semua itu dijalankan dengan rasa tenang. 

"Hanya ada rasa ikhlas dan berserah diri ke hadapan Tuhan, onggokan api terlihat kecil, sengatan api tidak ada terasa hanya seperti menginjak kerikil kecil," tuturnya.

Jero Bendesa Adat Calo, Ir I Nyoman Eriawan menjelaskan, menginjak api di dalam pura dalam tradisi Bali memiliki makna spiritual yang sangat mendalam, karena berkaitan dengan pembersihan, penyucian, dan simbol transformasi. 

Ritual ini biasanya dilakukan dalam upacara tertentu sebagai bagian dari perjalanan spiritual seseorang, baik sebagai bentuk persembahan kepada Hyang Widhi maupun sebagai proses introspeksi diri.

"Api melambangkan unsur penyucian. Menginjak api di dalam pura adalah simbol pembersihan dari energi negatif, karma buruk, dan pengaruh duniawi yang menghalangi jalan menuju kedamaian batin. Ritual ini menandakan bahwa seseorang siap untuk memasuki tahap baru yang lebih suci," ujarnya.

Sebagai simbol transformasi, Jero Bendesa menerangkan, api sebagai elemen yang membakar dan mengubah. 

Dalam konteks spiritual, menginjak api menandakan bahwa seseorang melepaskan sifat-sifat buruk seperti ego, kemarahan, dan kebingungan, serta membuka diri untuk perubahan positif. 

"Ini adalah proses transformasi dari keadaan asuri sampad (sifat buruk) menuju daivi sampad (sifat ilahi)," jelasnya.

Selain itu, kata dia, api adalah simbol tantangan, kekuatan, dan ujian. 

Dalam spiritualitas Bali, menginjak api menunjukkan keberanian seseorang untuk menghadapi tantangan hidup dengan keyakinan kepada Tuhan (Hyang Widhi) dan keyakinan pada diri sendiri.

Dia pun menyimpulkan, menginjak api di dalam pura dalam tradisi Bali adalah sebuah simbol kuat untuk pembersihan, keberanian, dan transformasi. 

"Dalam spiritualitas, itu mengajarkan kita untuk menyucikan diri dari segala hal yang menghalangi hubungan dengan Hyang Widhi dan alam semesta. Dalam kehidupan sehari-hari, ini menjadi pelajaran tentang keberanian menghadapi tantangan, melepaskan ego, dan menerima proses transformasi sebagai bagian dari perjalanan hidup," ujarnya.

Sementara, terkait upacara menginjak api yang hanya dilakukan oleh pemangku (pemimpin upacara) dan para pemimpin desa memiliki makna mendalam, baik dari sisi spiritual maupun sosial. 

Hal itu juga sebagai cerminan dari peran dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin spiritual dan masyarakat.

Dalam makna spiritual, pemangku merupakan simbol pelindung dan perantara antara umat dan Hyang Widhi (Tuhan), sedangkan pemimpin desa bertindak sebagai pelindung masyarakat. 

Menginjak api oleh mereka melambangkan tanggung jawab untuk membersihkan energi negatif yang mengancam masyarakat serta menjaga keseimbangan spiritual desa.

"Pemimpin spiritual dan adat dianggap memiliki tanggung jawab untuk menebus atau memurnikan energi negatif yang mungkin ada dalam desa adat. Api menjadi sarana pembersihan, dan pemangku atau pemimpin desa bertindak sebagai wakil untuk membawa masyarakat menuju harmoni," ujarnya.

Dari segi kekuatan dan keberanian spiritual, menginjak api oleh pemangku dan pemimpin desa menunjukkan keberanian spiritual mereka sebagai individu yang memiliki koneksi mendalam dengan kekuatan ilahi. 

Ini menegaskan bahwa mereka layak menjalankan tugas suci untuk melindungi masyarakat secara spiritual dan moral.

"Ritual ini sekaligus menjadi pengingat bagi masyarakat untuk menghormati pemimpin mereka, tidak hanya karena kekuasaan yang dimiliki, tetapi juga karena tanggung jawab besar yang mereka emban untuk menjaga harmoni Krama desa adat," ujarnya. (*)

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved