Seputar Bali
Apa Dampak Kenaikan Pajak Bumi dan Banguan di Bali? Pengamat: Potensi Pergeseran Kepemilikan Tanah
Pengamat Ekonomi dari Bali yakni Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M buka suara soal potensi kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Bali.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Ngurah Adi Kusuma
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Pengamat Ekonomi dari Bali yakni Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M buka suara soal potensi kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Bali.
Isu kenaikan nilai pajak ini karena adanya Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang pada akhirnya akan berdampak pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan.
Bahkan dari kajian yang dilakukan, kenaikan PBB dapat mencapai 10 kali lipat di Bali.
Hal ini tentu akan menjadi beban yang besar bagi masyarakat karena banyak warga yang pastinya menolak kenaikan nilai pajak yang terlalu besar ini.
Baca juga: Galeri 24 Hadir di Merdeka Festival 2025, Promo Menarik, Musiknya Meriah dan Emasnya Mewah!
Kenaikan PBB ini disinyalir karena Pemerintah Daerah (Pemda) mencari sumber pendapatan lain karena adanya efisiensi anggaran.
Lantas apa saja dampak yang dihasilkan dari kenaikan PBB tersebut?
Ketika dikonfirmasi, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M, membeberkan apa saja dampak dari keberlanjutan kebijakan kenaikan PBB hingga 10 kali lipat tersebut khususnya untuk Bali.
Menurutnya, dampak dari keberlanjutan kebijakan kenaikan PBB yang mencapai hingga 10x lipat akan sangat terasa bagi masyarakat.
Baca juga: 7 Berita Bali Hari Ini, Dampak PBB Naik Masyarakat Jadi Jual Aset, Denpasar Perbanyak Mesin Gibrig
“Beban pengeluaran rumah tangga meningkat, juga potensi tunggakan pajak bertambah, serta dapat mengakibatkan daya beli melemah,”
“Meski PAD bisa naik, kebijakan itu berpotensi memicu keresahan sosial,”
“Pada jangka panjang, bisa mendorong pergeseran kepemilikan lahan, terutama jika masyarakat menjual aset karena tidak mampu membayar pajak tinggi,” ucap Prof Raka pada, Sabtu 16 Agustus 2025.
Lebih lanjutnya ia mengatakan, langkah kenaikan PBB dalam kondisi ekonomi masyarakat Bali saat ini saya nilai kurang tepat.
Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali Tahun 2024 sebesar 5,9 persen, namun belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi yang lalu.
Daya beli masyarakat masih rapuh, terutama sektor informal dan pariwisata yang baru satu tahun bangkit.
“Peningkatan pajak justru berisiko menekan konsumsi rumah tangga dan memperlambat pemulihan ekonomi,”
“Kebijakan itu perlu dievaluasi dengan mmpertimbangkan kemampuan riil masyarakat,” sambungnya.

Baca juga: PENANGANAN Sampah Belum Maksimal, Pemkot Denpasar Akan Bangun 2 TPS3R dan Mesin Gibrig
Sementara jika dilihat dari sisi perhitungan, kenaikan PBB hingga 10 kali lipat jelas tidak proporsional. Inflasi nasional tahun 2024 hanya 2,8 persen, sementara kenaikan NJOP di Bali rata-2 berkisar 10–20 persen per tahun.
Perbedaan tajam antara dasar penetapan NJOP dengan kenaikan tarif PBB menunjukkan adanya ketidakseimbangan.
Beban fiskal masyarakat menjadi jauh lebih besar dibanding pertumbuhan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi.
Hal ini menimbulkan ketidakadilan fiskal yang berpotensi atau dapat memicu resistensi warga.
“Standar ideal kenaikan PBB sebaiknya mempertimbangkan inflasi, perkembangan NJOP, dan kemampuan ekonomi masyarakat,”
“Kenaikan yang wajar berkisar 10–20 persen pertahun, sehingga masih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan tidak menimbulkan gejolak,”
“Beberapa daerah di Indonesia menerapkan kenaikan bertahap agar masyarakat mampu beradaptasi,”
“Jika kenaikan dilakukan di atas angka tersebut, perlu diberikan skema keringanan, misalnya pengurangan atau penundaan pajak untuk kelompok masyarakat rentan,” tutupnya.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan dimana besarnya pajak ditentukan atas tanah dan atau bangunan.
Berikut beberapa manfaat yang didapatkan apabila membayar PBB-P2 tepat waktu:
1. Menjadi Sumber Pendapatan Bagi Pemerintah
PBB-P2 diketahui menjadi salah sumber pendapatan terbesar bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berasal dari Pajak Daerah.
Adapun penerimaan dari PBB dapat digunakan untuk membiayai berbagai program dan pembangunan pemerintah, seperti: infrastruktur, pendidikan, kesehatan hingga pelayanan publik lainnya.
Pendapatan dari PBB ini sangat penting dalam mendukung berbagai proyek pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki kualitas hidup.
2. Mengatur Kepemilikan Properti
Selain mendukung pendapatan daerah, PBB-P2 juga dapat digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mengatur kepemilikan properti.
Melalui pengenaan pajak yang adil dan proporsional, PBB dapat mendorong pemilik properti untuk memanfaatkan tanah dan bangunan mereka lebih efisien.
Tak hanya itu, PBB juga dapat mendorong penggunaan properti sesuai dengan rencana tata ruang dan pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini bertujuan untuk menciptakan tata ruang kota yang lebih teratur dan terencana, serta menghindari penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
3. Pengumpulan Data Properti
Dalam proses pemungutan PBB-P2, pemerintah juga dapat sekaligus mengumpulkan data tentang kepemilikan properti dan kondisi properti yang ada.
Nantinya, data ini dapat digunakan dalam perencanaan perkotaan, pengembangan infrastruktur, analisis ekonomi dan pengambilan keputusan lainnya.
Data yang akurat dan terbaru mengenai properti sangat penting untuk mendukung perencanaan pembangunan yang efektif dan efisien, serta untuk membuat kebijakan yang berbasis data.
(*)
sari
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.