Berita Bali

PREDIKSI PBB Naik 10 Kali Lipat di Bali, Masyarakat Tak Mampu Bayar Bakal Jual Aset

PREDIKSI PBB Naik 10 Kali Lipat di Bali, Masyarakat Tak Mampu Bayar Bakal Jual Aset

Pixabay
Ilustrasi pajak - Realisasi Pendapatan Pajak Daerah di Denpasar 2024 Capai 53,48 Persen, Restoran Capai Rp 142 Miliar 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdampak pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Kabupaten/Kota khususnya di Bali

Bahkan dari kajian yang dilakukan, kenaikan PBB dapat mencapai 10 kali lipat. 

Kenaikan PBB ini disinyalir karena Pemerintah Daerah (Pemda) mencari sumber pendapatan lain karena adanya efisiensi anggaran. Lantas apa saja dampak yang dihasilkan dari kenaikan PBB tersebut?

Baca juga: Kunci Jawaban IPAS Kelas 6 Halaman 89 90, Kurikulum Merdeka: Manfaat Indonesia Menjadi Anggota PBB

Ketika dikonfirmasi, Pengamat Ekonomi dari Bali yakni Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M, membeberkan apa saja dampak dari keberlanjutan kebijakan kenaikan PBB hingga 10 kali lipat tersebut khususnya untuk Bali

Menurutnya, dampak dari keberlanjutan kebjakan kenaikan PBB yang mencapai hingga 10x lipat akan sangat terasa bagi masyarakat. 

Baca juga: Prakiraan Cuaca Bali Besok 17 Agustus 2025, Berawan Dengan Suhu Hangat

“Beban pengeluaran rumah tangga meningkat, juga potensi tunggakan pajak bertambah, serta dapat mengakibatkan daya beli melemah. Meski PAD bisa naik, kebijakan itu berpotensi memicu keresahan sosial. Pada jangka panjang, bisa mendorong pergeseran kepemilikan lahan, terutama jika masyarakat menjual aset karena tidak mampu membayar pajak tinggi,” ucap Prof Raka pada, Sabtu 16 Agustus 2025. 

 


Lebih lanjutnya ia mengatakan, langkah kenaikan PBB dalam kondisi ekonomi masyarakat Bali saat ini saya nilai kurang tepat. Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali Tahun 2024 sebesar 5,9 persen, namun belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi yang lalu. Daya beli masyarakat masih rapuh, terutama sektor informal dan pariwisata yang baru satu tahun bangkit. 

 


“Peningkatan pajak justru berisiko menekan konsumsi rumah tangga dan memperlambat pemulihan ekonomi. Kebijakan itu perlu dievaluasi dengan mmpertimbangkan kemampuan riil masyarakat,” sambungnya. 

 


Sementara jika dilihat dari sisi perhitungan, kenaikan PBB hingga 10 kali lipat jelas tidak proporsional. Inflasi nasional tahun 2024 hanya 2,8 persen, sementara kenaikan NJOP di Bali rata-2 berkisar 10–20 persen per tahun. Perbedaan tajam antara dasar penetapan NJOP dengan kenaikan tarif PBB menunjukkan adanya ketidakseimbangan. Beban fiskal msyarakat menjadi jauh lebih besar dibanding pertumbuhan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan fiskal yang berpotensi atau dapat memicu resistensi warga.

 


“Standar ideal kenaikan PBB sebaiknya mempertimbangkan inflasi, perkembangan NJOP, dan kemampuan ekonomi masyarakat. Kenaikan yang wajar berkisar 10–20 persen pertahun, sehingga msih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan tidak menimbulkan gejolak. Beberapa daerah di Indonesia menerapkan kenaikan bertahap agar masyarakat mampu beradaptasi. 

 


“Jika kenaikan dilakukan di atas angka tersebut, perlu diberikan skema keringanan, misalnya pengurangan atau penundaan pajak untuk kelompok masyarakat rentan,” tutupnya. 

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved