Sejarah Sang Proklamator di Buleleng

Sejarah Orangtua Soekarno di Buleleng, Rai Srimben Minta Diaben dan Dilinggihkan di Blitar

Penglingsir Banjar Bale Agung, Jro Made Arsana mengungkapkan, pertemuan pertama Rai Srimben dengan Raden Soekemi terjadi di Pelabuhan Buleleng.

Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Patung ayahanda Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, yang terletak di Jalan Veteran, Singaraja, Buleleng, tampak kumal dan mengelupas catnya. 

TRIBUN-BALI.COM, BULELENG - Banjar Adat Bale Agung adalah salah satu Banjar di Kelurahan Paket Agung, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.

Banjar Adat Bale Agung merupakan kampung kecil yang penghuninya masih memiliki hubungan keluarga. 

Salah satunya Ni Made Liran yang menikah dengan Nyoman Pasek.

Keduanya masih satu keluarga dan tinggal di satu pekarangan.

Kedua pasutri ini memiliki beberapa anak, salah satunya bernama Nyoman Rai Srimben, yang tidak lain adalah Ibunda Bung Karno.

Nyoman Rai Srimben lahir pada 1 Januari 1881. 

Penglingsir Banjar Bale Agung, Jro Made Arsana mengungkapkan, pertemuan pertama Rai Srimben dengan Raden Soekemi terjadi di Pelabuhan Buleleng.

Saat itu, Raden Soekemi yang ditugaskan sebagai guru di SD Negeri 1 Paket Agung baru tiba di Pelabuhan Buleleng.

Baca juga: Gelar Perayaan Bulan Bung Karno, Desa Sumerta Kelod Ajak Generasi Muda Teladani Semangat Soekarno

Ia dijemput oleh Nyoman Peteng beserta sejumlah rombongan. Diceritakan jika Rai Srimben ada dalam rombongan yang menjemput Raden Soekemi.

Bahkan keduanya sempat bertatapan mata. “Namun hanya sebatas itu saja,” katanya. 

Selama menjadi guru, Raden Soekemi kerap mengunjungi Van Der Tuuk yang rumahnya berlokasi di Banjar Beratan.

Untuk menuju ke rumah Van Der Tuuk, otomatis Raden Soekemi akan berjalan dari rumah kos melintasi Banjar Bale Agung. 

Setiap melintas, Raden Soekemi kerap dipanggil oleh anak-anak sekitar dengan sebutan ‘Guru Raden’.

Maklum karena tampilan pakaiannya pun berbeda dengan masyarakat lokal.

Raden Soekemi mengenakan dasi, sedangkan masyarakat lokal hanya telanjang dada. 

“Karena banyak anak-anak, sehingga beliau sering masuk ke Bale Agung untuk mengajak sekolah. Saat itulah keduanya bertemu untuk kali kedua,” ujarnya. 

Melihat Raden Soekemi mengajar anak-anak, sejatinya ada keinginan Rai Srimben untuk ikut belajar.

Sayang usianya saat itu sudah terlalu tua, yakni 14 tahun.

Walau demikian, Rai Srimben akhirnya mendapat pelajaran baca tulis dari adik-adiknya yang sekolah. 

Antara Rai Srimben dengan Raden Soekemi sejatinya ada saling suka. Namun untuk berkenalan secara langsung cukup sulit.

Sampai akhirnya ada seorang sepupu bernama Made Lastri.

Pada masa kini, peran Made Lastri mungkin disebut sebagai ‘mak comblang’. Karena berkat dialah Raden Soekemi bisa berkenalan dengan Rai Srimben. 

Rai Srimben memiliki hobi menari, dan menggemari tari rejang tua.

Walaupun para penarinya merupakan orang tua, namun Rai Srimben kerap turut serta.

Suatu ketika, acara tersebut banyak dihadiri tamu terhormat. Mulai dari tokoh residen hingga raja Buleleng.

Termasuk Raden Soekemi juga ikut menonton.

“Ada salah satu proses namanya Ngider Bhuana, yaitu berputar-putar sambil menari. Di situlah Raden Soekemi melemparkan bunga,” ucapnya. 

Hubungan keduanya pun berlanjut dan semakin dekat, namun dilakukan secara diam-diam.

Ini karena Rai Srimben sudah dijodohkan. Bahkan ada tiga laki-laki yang menjadi calonnya saat itu.

Namun Rai Srimben tetap teguh hanya mencintai Raden Soekemi.

Satu orang lagi yang turut membantu melancarkan hubungan keduanya yakni Made Kaler. 

Saat kawin lari, keduanya sempat menuju ke kantor polisi Belanda untuk menyampaikan bahwa keduanya hendak kawin lari atas dasar suka sama suka.

Pihak kepolisian akhirnya memberitahu keluarga Rai Srimben, hingga keluarga besar mendatangi kantor polisi.

Di tempat inilah terjadi momen haru. Sebab keluarga besar termasuk sang kakek turut mendatangi kantor polisi.

Rai Srimben bahkan sempat sujud di kaki keluarga. Namun marahnya pihak keluarga belum reda karena emosional.

Bahkan sampai ada pihak keluarga yang meminta agar Rai Srimben tidak diperbolehkan pulang ke rumah bajang. 

Akhirnya Raden Soekemi dan Rai Srimben kawin lari pada 15 Juni 1897.

Pernikahan keduanya berlangsung di Tulungagung, Jawa Timur. Namun akhirnya kembali lagi ke Buleleng, sebab Raden Soekemi harus melanjutkan pekerjaan sebagai guru. 

Kendati hubungan keduanya cukup rumit, namun pada tahun 1930-an, hubungan keluarga sudah kembali baik.

Terbukti dengan adanya surat-surat dari Rai Srimben.

“Surat itu isinya mengajak keluarga agar berkunjung ke Blitar,” ucap Jro Arsana. 

Biasanya, dalam pernikahan orang Bali ada ritual mepamit. Namun karena pernikahan Rai Srimben dan Raden Soekemi dilakukan secara kawin lari, maka ritual tersebut tidak dilaksanakan.

Beberapa praktisi spiritual yang berkunjung menyebut aura Rai Srimben masih berada di lokasi.

Tak hanya praktisi spiritual, menurut Jro Arsana, beberapa pandita juga mengatakan hal serupa. 

“Secara niskala beliau ingin diaben dan setelahnya minta dilinggihkan di Blitar. Namun karena di Blitar sudah menjadi situs cagar budaya, tentu sulit tanpa pemberitahuan."

"Makanya saya ingin menyampaikan pada Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), namun sampai sekarang belum sempat karena belum ada waktu untuk bertemu,” tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved