TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Lantunan suling dan alat tiup riding menghiasi proses Sudhi Wadani (upacara masuk ke Agama Hindu) yang dilaksanakan oleh Kanjeng Raden Ayu Mahindrani Kooswidyanthi Paramasari.
Setelah prosesi ini, perempuan keturunan Keraton Surakarta ini berencana segera membangun asram dengan kultur perpaduan Jawa, Bali dan nusantara.
Prosesi ini dipuput Sari Galuh Wiku Sri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun dari dari Kedhatuwan Kawista Bali, Blatungan, Pupuan, Tabanan.
Proses Sudhi Wadani ini diawali dengan pembersihan pura dan diri dari Kanjeng Mahindrani, setelah itu barulah ketika Sri Bhagawan selesai menucapkan mantra, Kanjeng Mahindrani diminta untuk mengikuti ucapan Sri Bhagawan saat melontarkan bait kedua Tri Sandya, mantra Om Narayana dan doa Gaya Tri Mantram.
“Om Nàràyana evedam sarvam yad bhùtam yac ca bhavyam, niskalanko nirañjano nirvikalpo, niràkhyàtah suddo deva eko, Nàràyano na dvitìyo'sti kascit. Om Hyang Widhi engkaulah sumber segala kehidupan, dihadapanmu aku berjanji engkau adalah sunber daripada kehidupan. Engkau tiada yang kedua engkau adalah yang satu,” ujar Kanjeng Mahendrani mengikuti ucapan Sri Bhagawan yang setelah itu menyatakan Kanjeng Mahendrani secara sah sudah masuk Hindu, di Pura Luhur Catur Kandapat Sari, Pangideran Dewata Nawa Sangha, desa Peguyangan Kaja, Denpasar, Bali, Senin (17/7/2017).
Setelah prosesi itu barulah Kanjeng Mahendrani mengikuti proses pawintanan dan diikatkan karawista (ikat kepala dari alang-alang) sebagai prosesi masuk Hindu.
Raut wajah Kanjeng Mahendrani memang tampak tegang selama prosesi upacara berlangsung, namun selepas upacara raut wajah senang dan terharu terlihat dari senyuman di bibirnya.
Wanita kelahiran Roma, Italia tahun 1961 ini tampak begitu terharu dan tak bisa berkata-kata melihat banyaknya masyarakat Bali yang ingin melihat prosesi upacanya walaupun bukan berasal dari keluarganya langsung.
Dirinya hanya bisa tesenyum lepas selepas prosesi Sudhi Wedani selesai dengan lancar dan tanpa adanya hujan yang menghalangi prosesi upacara tersebut.
“Saya berterima kasih sekali hari ini adalah hari baik, karena dari hati saya sendiri dan saudara saya sendiri mendukung. Ya apa ya, saya enggak bisa ngomong lagi,” ujar Raden Ayu di Pura Luhur Catur Kandapat Sari, Pangideran Dewata Nawa Sangha, Desa Peguyangan Kaja, Denpasar, Bali.
K.R.A Mahindrani Kooswidyanthi Paramasari melaksanakan prosesi Sudhi Wadani yakni upacara suci Dharma di Pura Luhur Catur Kandapat Sari, Banjar Pondok, Desa Peguyangan Kaja, Jalan Antasura, Denpasar, Senin (17/7/2017). (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Setelah mengambil nafas sejenak, barulah wanita yang menggunakan kebaya putih dengan motif bunga biru dengan kamen batik jawa dengan sanggul ini kembali bercerita terkait keputusannya menjadi Hindu.
Keinginan kembali ke jalan Dharma sebenarnya sudah dari dahulu dilakukannya dengan mengikuti persembahyangan di pura-pura namun baru sekarang diresmikan.
Keinginan menjadi seorang Hindu pun dinilainya karena kemauannya sendiri dan tanpa paksaan, karena yang ia rasakan ketika bersembahyang di Pura atau melaksanakan prosesi Hindu Kejawen khususnya adalah kedamaian.
“Sudah lama saya kira, saya kan berada di keluarga Jawa. Sebetulnya sudah biasa perilaku Hindu Jawa, Kejawen. Panggilan masuk Hindu sejak mungkin lebih kuat lagi saat saya sering ke Bali dan semenjak saya tinggal di Puri Anyar Pemecutan tahun 2013,” ujarnya.
Terkait dengan rencananya ke depan, ia akan membuat ashram atau padepokan yang terletak di Tabanan.
Namun dengan kultur perpaduan Bali, Jawa, dan Nusantara.
Dirinya yang juga sebagai komposer pianis ini juga memiliki kakak dan adik yang tinggal di Bali.
Menurutnya, semua keluarga mendukung langkahnya ini.
“Mendukung semua keluarga, kesannya ya memang damai dan tidak ada orang yang memaksa saya masuk Hindu, ya itulah,” ujarnya yang tampak sederharna dan tidak banyak menggunakan properti atau perhiasan emas layaknya putri kerajaan jaman dahulu ini.
Ketua Umum Puskor Hindunesia, Ida Bagus Susena yang berdiri di samping Mahendrani menambahkan dari Raden Ayu kembali ke jalan dharma merupakan panggilan hati tanpa ada paksaan.
“Mungkin saya wakili sedikit, beliau sangat merasa terharu. Dari diskusi kemarin malem, beliau sangat merasa terharu sekali akan apa yang beliau putuskan hari ini. Bahwa dalam perjalanan ini kita enggak ada memaksakan kehendak, jadi murni karena keinginan beliau mengingat kembali perjalanan leluhur beliau yang masih Pakubuwono di Solo. Beliau merasa terkoneksi dari luhur beliau yang menjadi saksi kejayaan Hindu di Nusantara ini,” jelasnya.
Susena mengaku berbahagia sekali rasanya upacara ini bisa berlangsung dengan baik dan dilihat masyarakat, karena pentingnya manusa saksi ini menguatkan bahwa Kanjeng Mahendrani secara tulus ikhlas untuk kembali ke jalan dharma.
Banyak hambatan dan ujian yang dirasakan oleh Kanjeng namun bisa lewati dengab baik.
Bahkan dipilihnya Pura Luhur Catur Kandapat Sari, Pangideran Dewata Nawa Sangha, sebagai tempat Sudhi Wedani juga ada sebab khusus karena pura diisni unik dan tidak ada tempat lain yang memiliki Parahyangan dan strukrur Pura dari semua arah.
Selain ada pelinggih pura dari barat, utara, selatan, timur (empat arah mata angin) juga ada pelinggih di sisi timur laut, tenggara, barat daya dan barat laut dengan ditengah sebagai sumbernya makanya disebut Pura Dewata Nawa Sangha.
“Pura ini sangat kuat dengan pelinggih di empat arah mata angin. Jadi ini juga tradisi di Jawa kuat memegang sedulur papat, itu menjadi sebuah konsep yang beliau yakini selama ini dan kita kuatkan disini,” jelasnya.
Dalam prosesi tersebut juga hadir A.A. Gede Agung Bagus Suteja, Raja dari Puri Agung Jembrana, yang hadir sebagai Ketua Paiketan Puri-puri sejebag Bali.
Selain itu juga ada beberapa lainnya yakni beberapa pandita dan tokoh Hindu di Bali juga hadir. (*)