TRIBUN-BALI.COM - Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Pemprov Bali menyebutkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali, I Wayan Koster Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter tidak memilik saksi hukum.
“Ini yang disampaikan oleh Dinas Lingkungan Hidup dalam sebuah diskusi baru-baru ini, bahwa SE itu nggak ada sanksinya,” ujar I Nyoman Subanda, pengamat kebijakan publik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Denpasar, Bali dalam siaran persnya.
Menurutnya, DKLH Pemprov Bali menyampaikan bahwa SE Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah itu sifatnya hanya imbauan saja.
“Jadi, SE itu nggak bisa mengikat dan nggak bisa ngasih punishment,” tutur Subanda mengutip apa yang disampaikan DKLH Pemprov Bali.
Baca juga: CARA Gampang Cari Rumah di Bali, REI Sudah Punya Website Kerjasama dengan Rumah123
Baca juga: DIDUGA Ada Hubungan Khusus, 2 Pria Ulah Pati Bareng di Denpasar, Jejak Digital Dihapus
Menurut dia, sebaiknya memang tidak ada reward dan punishment terkait SE Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah itu.
“Yang paling mengikat itu Pergub atau Perda, karena itu memang harus ada persetujuan DPRD-nya,” tukasnya. Karenanya, dia menyarankan agar kebijakan permasalahan sampah di Bali ini dibuat dalam bentuk Perda.
Alasannya, pertama agar posisinya lebih kuat secara hukum. Kedua, karena untuk menyelesaikan permasalahan sampah di Bali itu membutuhkan anggaran besar, dan itu bisa dibuat kalau bentuknya Perda.
“DPRD juga akan menyerap semua aspirasi masyarakat dulu sebelum menyetujui Perda,” tuturnya. Soal keterlibatan pengusaha, menurut Subanda, itu penting dilakukan mengingat kaitannya dengan sejenis investasi karena itu menyerap tenaga kerja.
“Itu kaitannya dengan struktural, dengan UMKM. Jadi, untuk menangani masalah sampah ini juga jangan sampai masalah yang lain muncul. Memang tidak gampang jadi pemerintah. Tapi begitu lah memang logikanya,” katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi, mengatakan langkah Gubernur Bali untuk membuat daerahnya bersih itu memang perlu diapresiasi.
Tetapi, lanjutnya, niat baik itu tidak bisa serta merta dilakukan dengan cara-cara yang tidak prosedural dengan tidak merujuk pada peraturan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang dan Perda.
“Salah satu prosedur dalam membuat keputusan di provinsi ataupun di pemda itu adalah harus merujuk kepada aturan yang lebih tinggi. Itu sudah menjadi prinsip, sehingga tidak boleh kalau ada keputusan atau edaran dari gubernur yang kemudian bertentangan dengan aturan yang di atasnya,” ujarnya.
Jadi, dia menegaskan kalau misalnya ada kepala daerah yang memaksakan sebuah SE yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, Menteri Dalam Negeri bisa melakukan uji yudisial terhadap keputusan tersebut.
Karena, tugas menteri dalam kasus ini adalah untuk menyelaraskan agar peraturan-peraturan yang ada itu tidak saling bertentangan dengan aturan yang di atasnya.
“Karena, kebijakan lingkungan daerah seperti ini bisa berbenturan atau tumpang tindih dengan peraturan pusat, dan mewujudkan ketidakpastian hukum dan tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan lingkungan di daerah,” katanya.