PT Hardys Retailindo Pailit

Kisah Gede Hardi, Jaya dan Pailit dari Properti, Ternyata Bisnis Sejak Kuliah

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gede Agus Hardiawan

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Naluri bisnis Gede Agus Hardiawan sudah muncul ketika di masih duduk di SMA.

Hingga saat ini naluri itu masih terasah.

Baca: Beredar Foto Gubernur Bali Jadi Pembicara Wisata Halal, Pastika: Tidak Ada Satupun Agenda Saya

Baca: Ternyata Cik Telah Melihat Tanda Hardys Akan Kolaps, Begini Pengakuannya

Baca: 13 Outlet Hardys Dibeli Orang Bali, Gede Sedana: Bangga yang Dibangun Gede Hardi, Melekat di Hati

Walau dinyatakan pailit, Gede Hardi yakin bisa bangkit kembali.

Hampir semua orang Bali mengetahui, bahkan mungkin pernah berbelanja di Hardys Retail maupun sekadar berjalan-jalan ke Hardys Mall yang tersebar di hampir seluruh daerah di Bali, kecuali Bangli.

Usaha retail yang menggurita dan membuat bangga warga Bali itu telah melambungan nama Gede Hardi.

Gede Hardi, pria yang berada di belakang bisnis ini memulai bisnis retail dengan modal yang diperolehnya dari bisnis properti yang dimulai di Bandung.

Pada saat itu, pria kelahiradan Desa Penyaringan, Mendoyo, Jembrana 27 Mei 1972, ini kuliah di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) puluhan tahun lalu.

Namun bisnis properti juga, karena terlalu ekspansif, yang menyebabkan usaha itu dinyatakan pailit, baru-baru ini.

Sekelumit kisahnya, ketika kuliah di ITB, Gede Hardi menekuni bisnis properti yaitu menjual rumah di Bandung dengan kisaran harga Rp 50 juta sampai Rp 60 juta.

Gede Hardi membeli rumah, kemudian memperbaikinya, lantas menjualnya kembali.

Selain itu, Gede Hardi juga terpikat pada investasi properti di kala ia melihat sebuah kawasan yang digarap oleh satu pengembang di sana.

Ketertarikannya berujung dengan niat memiliki sebuah rumah dengan harga total Rp 350 juta di areal itu.

Kemudian untuk menuruti keinginannya iapun memberikan uang muka pembelian rumah sebesar Rp 100 juta yang diperoleh dari pinjaman ayahnya di bank.

Dalam waktu singkat rumah di kawasan itupun habis terjual.

Namun belakangan Gede Hardi malah berpikir untuk mengurungkan niat memiliki rumah di kawasan elite ini.

Ia menyadari bahwa keberadaannya di Bandung sebagai mahasiswa belumlah cukup mampu untuk mencicil rumah mewah tersebut, dan mungkin saja nanti rumah yang dibelinya justru akan menambah beban baru bagi kedua orangtuanya.

Dengan kesadaran itu, Gede Hardi menjual kembali bakal rumahnya itu kepada seseorang dari Jakarta.

Dari penjualan itu dia mendapat untung sebesar Rp 90 juta.

Dengan modal keuntungan inilah Gede Hardi kemudian meneruskan bisnis properti sambil menekuni kuliahnya hingga lulus sebagai Sarjana Teknik Industri pada 1995.

Setelah itu, Gede Hardi sempat bekerja di perusahaan otomotif selama 8 bulan.

Meskipun mendapatkan tawaran untuk bekerja di Toyota Jepang, namun jiwa bisnis Gede dan panggilan untuk pulang kampung lebih kuat sehingga dia kembali ke Pulau Dewata.

Bisnis ritel menarik perhatiannya.

Dia mempelajari bisnis Wal-Mart dengan tokoh ritel terkenal dari AS yakni Sam Walton.

Dari tekadnya menekuni bisnis ritel, lahirlah Hardys yang pertama pada 11 Juni 1997 di Jembrana, kota kelahirannya.

Tahun 1997, Gede mendirikan GH Holdings.

Awalnya hanya fokus di bisnis ritel dan membuka outlet pertama di Bali yakni di Negara, Kabupaten Jembrana.

Hardys di Jembrana sudah menggunakan sistem barcoding dan ini diklaim Gede sebagai simtem barcoding pertama untuk ritel di Bali saat itu.

Strategi yang diterapkan untuk mendirikan Hardys sama dengan strategi Sam Walton mendirikan Wal-Mart yakni mulai dari daerah pinggiran sebelum menyasar ke pusat kota.

Setelah tiga tahun membangun sistem manajemen yang terintegrasi, tahun 2000 Hardys membuka outlet kedua di Seririt, Kabupaten Singaraja.

Kemudian kerajaan bisnis Gede Hardi bersama istrinya Ni Ketut Rukmini terus berkembang.

Berdasarkan catatan yang dihimpun Tribun Bali dari berbagai sumber, GH Hodings setidaknya telah memiliki 10 supermarket yang tersebar di sampir semua kabupaten di Bali, memiliki 9 department store, 2 Hardys gourmet, 2 Bali Craft Centre, 18 Hardy Store yang tersebar di Bali bahkan di sampai ke Banyuwangi, Jember, Probolinggo, memiliki 3 hotel, dan 12 HardysLand siap bangun. Juga ada properti lain milik GH Hodings di Lombok.

Modal untuk perputaran bisnis GH Holdings ini diperoleh di antaranya dari pinjaman sebanyak 20 bank dalam dan luar negeri bermodal kepercayaan.

Namun menurut pengakuan Gede Hardi, karena salah perhitungan dan terlalu ekspansif, kreditur menagih dan Hardy dianggap tak bisa membayar sehingga dinyatakan pailit pada 9 November lalu.

Untungnya, keluarga sangat men-support Gede Hardi.

"Saya sadar saya take a risk. Yang penting semua utang terselesaikan dan ada saldo lebih,” ujarnya, kemarin.

Gede Hardi memohon dukungan masyarakat Bali agar dia bisa bangkit kembali.

Dia yakin bisa bangkit, setelah melihat beberapa perusahaan dulu bangkit dari kepailitan, bahkan di antaranya beberapa perusahaan besar.

Awal modal yang dibutuhkan Gede Hardi untuk membangun Hardys hanya Rp 250 juta, yang dia dapatkan dari menjadi broker properti.

Besarnya Hardys juga dari sikap ekspansif Gede Hardi dalam mengembangkan bisnisnya.

“Karakter saya memang sangat ekspansif, sebab saya mengusung aliran Robert Kyosaki dan terus berusaha. Namun memang risikonya, kalau tidak terbang, yang 'tiarap',” ujarnya. (*)

Berita Terkini