TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Runtuhnya kerajaan bisnis ritel Grup Hardys mengejutkan masyarakat Bali.
Baca: Beredar Foto Gubernur Bali Jadi Pembicara Wisata Halal, Pastika: Tidak Ada Satupun Agenda Saya
Banyak pihak yang tidak percaya dan tidak menyangka brand ritel terbesar di Bali ini bakal mengalami kolaps setelah dinyatakan pailit.
Baca: Kisah Gede Hardi, Jaya dan Pailit dari Properti, Ternyata Bisnis Sejak Kuliah
Baca: Kerajaan Bisnis Ritel Gede Hardi Pailit, Tak Pernah Menyangka 6 Hal Ini Sebab dan Akibatnya
Baca: 13 Outlet Hardys Dibeli Orang Bali, Gede Sedana: Bangga yang Dibangun Gede Hardi, Melekat di Hati
Namun Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Causa Iman Karana, mengaku tak terlalu terkejut dengan keruntuhan kerajaan bisnis yang dibangun I Gede Agus Hardiawan tersebut.
Baca: Heboh Jennifer Dunn Dilabrak Anak Faisal Harris! Ternyata Sosoknya Bukan Orang Sembarangan
Baca: Suaminya Selingkuh Dengan Jennifer Dunn, Sarita Sebut Suaminya Mengaku Sejak Akhir 2016
Cik --panggilan akrab Causa Iman Karana-- sudah sejak lama telah melihat tanda-tanda Hardys akan pailit.
Tanda-tanda itu mulai terlihat setelah Hardys terus membeli tanah untuk residensialnya dan tanah ini tidak produktif.
Apalagi diketahui dana untuk investasi didapatkan dari 20 bank di dalam dan luar negeri.
Baca: Pesan Menyayat Hati Laila Sari Sebelum Meninggal ‘Nih Mama Sudah Sediakan Kain Kafan’
"Hardys terlalu ekspansif. Khususnya terlalu ekspansif ke sektor residensial yang akhirnya tidak prospektif. Kan akhirnya banyak tanah yang dibeli nganggur, seperti di Gianyar dan Negara. Nah kalau amatan saya ini di luar core-nya dia (Gede Hardi),” kata Cik kepada Tribun Bali, Senin (20/11/2017).
Saat diwawancarai Tribun Bali, Minggu (19/11/2017), Gede Hardi mengakui dirinya terlalu ekspansif.
Pria kelahiran Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, 26 Mei 1972, ini pun tak pernah menyangka sikap ekspansifnya akan mengakhiri kerajaan bisnis ritelnya pada kepailitan.
Seperti diketahui setelah sukses membangun bisnis ritel yang dirintis sejak 11 Juni 1997, Gede Hardi kemudian mengembangkan bisnisnya ke sektor properti bernama Hardys Land.
Targetnya adalah membangun 10.000 vila dengan menanam 10.120 pohon yakni pohon jepun atau pohon pule.
Dengan mengusung konsep properti multiuse, Hardys Land hadir di sejumlah titik mulai dari Dauh Waru Jimbarwana dan Pendem di Jembrana, Kampial Nusa Dua, Kutuh Tabanan, Munggu Badung, Keramas dan Siyut di Gianyar.
Satu titik itu luasannya antara 11 hektare sampai 14 hektare.
Namun semua Hardys Land ini mangkrak.
Investasi besar yang ditanamkan di bisnis properti (tanah) ini tak bergerak, sementara kredit di bank terus berjalan.
Akhirnya Hardys tak mampu membayar utangnya yang mencapai Rp 2,3 triliun di 20 bank.
Hardys pun dinyatakan pailit.
Sebanyak 13 dari 18 outlet yang dimiliki Grup Hardys, telah diakuisisi oleh PT Arta Sedana sejak Desember 2016.
Sedang aset lain seperti lima outlet ritel yang tersisa serta tiga hotel miliknya, kini dikuasai kurator.
Dari 18 outlet ini, setidaknya ada 2.000 lebih karyawan telah diambil-alih oleh PT Arta Sedana sebagai pihak yang mengakuisisi.
Sementara karyawan hotel ada sekitar 300-an dikuasai oleh kurator, dan di bawah pengawasan Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Surabaya.
Awalnya, kata Gede Hardi, ada dua krediturnya yang mendaftarkan pihaknya pailit pada 14 Agustus 2017 ke Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Surabaya. Bahkan isu awalnya akan dipailitkan telah muncul sejak awal tahun 2017.
“Ada bank yang akan mempailitkan kami, sehingga kami berjaga-jaga dan ternyata tanggal 14 Agustus 2017 ada yang mendaftarkan kami untuk mempailitkan,” jelasnya.
Berdasarkan Undang-undang kepailitan dan PKPU Nomor 37 tahun 2004, Hardi membela diri dengan mendaftar Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada tanggal 18 Agustus 2017.
“Kemudian tanggal 25 September 2017, langsung turun putusan PKPU ini. Dari tanggal 25 September ini, saya diberikan waktu 45 hari untuk menyusun proposal perdamaian. Nah sampai 9 November 2017, dan seluruh kreditur voting. Kemudian pada saat voting itu, ada kreditur yang tidak menyetujui proposal perdamaian kami, dari kreditur dua bank yang sangat keras menolak dan akhirnya proposal perdamaian kami ditolak dan kami jatuh pailit,” tutur Gede Hardi terkait kepailitan usahanya.
Permasalahan Manajemen
Gede Hardi juga mengatakan penyebab terjunnya kerajaan bisnis ritel Hardys karena adanya pelemahan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat.
Namun hal ini ditepis oleh Cik, mengingat ekonomi Bali masih berada di atas nasional dengan kisaran enam persen.
“Saya dengar masalahnya ada di dalam manajemen langsung, jadi apabila dikaitkan dengan daya beli mungkin gak langsung ya,” ucapnya.
Berdasarkan data BI, pertumbuhan ekonomi Bali pada Triwulan III-2017 masih di atas enam persen, tumbuh 6,22 persen (yoy), tumbuh lebih tinggi (akselerasi) dibandingkan Triwulan II-2017 sebesar 6,01 persen (yoy).
Hal ini, kata dia, mengalami revisi ke atas dari sebelumnya 5,87 persen (yoy) dan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional pada Triwulan III-2017 sebesar 5,06 persen (yoy).
Realisasi pertumbuhan ekonomi Bali pada Triwulan III-2017 berada di atas proyeksi KPwBI Provinsi Bali sebesar 6,10 persen (yoy), namun masih masuk dalam range proyeksi 5,90-6,30 persen (yoy).
Cik menjelaskan peningkatan kinerja ekonomi Bali pada Triwulan III-2017 dari sisi penawaran didorong peningkatan lapangan utama yaitu akomodasi makan-minum (Akmamin), perdagangan besar dan eceran, transportasi dan pergudangan, konstruksi, dan industri pengolahan.
Dengan kondisi ini, perkembangan kinerja ekonomi Bali secara kumulatif sampai dengan triwulan III 2017 (rata-rata triwulan I-III) tercatat sebesar 5,99 persen (yoy).
Tekanan cukup berat ekonomi Bali baru dirasakan pada Triwulan IV 2017 sejalan dengan peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Agung sehingga berpotensi menahan kinerja industri pariwisata sebagai motor penggerak ekonomi Bali.
Karena itu menurut Cik, pailitnya Hardys di bawah kepemimpinan Gede Hardi, tidak bisa serta merta dikatakan akibat dari penurunan daya beli karena pelemahan ekonomi.
“Kalau kita lihat brand ritel lain seperti Coco Mart dan sebagainya kan masih laku juga,” imbuhnya. (*)