PT Hardys Retailindo Pailit

Bisnisnya Runtuh, Buper Indikasikan Hardys Melanggar Tindak Pidana Pajak, Tagihannya Melangit

Penulis: AA Seri Kusniarti
Editor: Eviera Paramita Sandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana Supermarket Hardys di Panjer, Denpasar, Minggu (19/11/2017) siang. Di dalam supermarket tampak sepi pembeli dan hanya ada satu kasir. Inzet: I Gede Agus Hardiawan, Pemilik PT Hardys Retailindo

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Setelah kerajaan bisnis ritelnya Hardys pailit, Gede Hardiawan kini terganjal piutang pajak dengan angka cukup fantastis.

Menurut Cuaca, nama kuasa hukum Hardi, awal cerita adalah KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Madya Denpasar melakukan pemeriksaan untuk tahun pajak 2011 yang dilaksanakan April 2015; dan untuk tahun pajak 2012 dilaksanakan tahun 2016.

Setelah itu, didapatkan temuan bahwa Hardys kurang membayar pajak sebesar Rp 22 miliar.

“Dari total temuan tersebut, Hardys telah membayar Rp 7 miliar pada akhir 2015, yang diangsur bertahap,” kata Cuaca kepada Tribun Bali, Minggu (3/12).

Untuk tahun pajak 2016 berjalan, kata dia, Hardys sama sekali tidak mampu bayar pajak. Sehingga muncul lagi tunggakan pada Mei 2017, dan akhirnya datang surat perintah bukti permulaan (Buper).

“Ini berarti Hardys telah diindikasikan melanggar tindak pidana pajak,” ucapnya.

Buper dimaksud adalah Buper selama 3 tahun yakni tahun 2014, 2015, dan 2016 dengan pajak dihitung terutang sebesar Rp 44 miliar.

Padahal, kata dia, kondisi di lapangan pada 2013 memperlihatkan bahwa Hardys sedang mengalami likuiditas bagus dan pasti bisa membayar.

“Namun ternyata pemeriksaan baru dilakukan tahun 2015/2016 ketika ekonomi sedang down dan Hardys mengalami masa sulit,” jelasya.

Selanjutnya, sesuai aturan Buper itu, maka Hardys dikenai sanksi 150 persen sehingga memunculkan tagihan pajak Rp 105 miliar.

“Nah lalu muncul surat perintah penyidikan untuk proses penyidikan. Dan sesuai undang-undang, sanksi yang harus dibayarkan adalah 400 persen dari total pajak terutang,” sebutnya.

Proses ini yang dipertanyakan Cuaca, karena seharusnya Buper ditetapkan dan bisa dikeluarkan jika ada pemeriksaan lapangan tahun pajak yang tertera di Buper.

Menurut Cuaca, pemeriksaan Buper boleh dilakukan setelah adanya pemeriksaan terlebih dahulu.

“Namun prosedur pemeriksaan ini yang terlewati, dan penyidik pajak langsung ke Buper tanpa melewati tahap pemeriksaan. Kalau cara ini dipakai, berarti KPP menghilangkan hak-hak wajib pajak untuk melaporkan sendiri SPT-nya. Apalagi ada sanksi 150 persen, dan jika tidak dibayar maka wajib pajak bisa dikenakan lagi sanksi 400 persen apabila kasusnya dinaikkan ke penyidikan pidana pajak,” ujarnya.

Setidaknya, kata dia, sebelum Buper dilayangkan, pihak Hardi diberitahu terlebih dahulu ihwal rencana ini. Dan jika tidak ditanggapi, barulah diperiksa.

“Saya sudah koordinasi dengan Kanwil Pajak, dan saya pertanyakan dasar hukum mereka, tetapi belum ada jawaban,” katanya.

Cuaca berharap penyidikan ini dibatalkan.

Apalagi, kini seluruh harta Hardi sedang dalam penguasaan kurator setelah dinyatakan pailit, dengan total aset Rp 4,3 triliun dan kepailitannya Rp 2,1 triliun.

Sementara itu, Gede Hardi menyerahkan semua ke kuasa hukumnya.

“Sebab saya tidak mengerti hukum pajak,” katanya.

Hardi pun berharap ada bantuan mediasi dari Kadin atau Hipmi Bali ke KKP Madya dan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali, mengingat statusnya sedang pailit.

Sementara itu, Riana Budiyanti, Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Bali, belum bisa berkomentar saat dimintai tanggapannya tentang kasus pajak Hardys tersebut.

Ia menunggu keputusan dari Kepala Kanwil DJP Bali agar penjelasannya sesuai konteks terkait kasus Hardi ini.

“Tentu statement yang pas dari Kepala Kanwil. Sebab, kami harus mengumpulkan data yang valid dan lengkap terkait kasus ini, dan kami akan merundingkan dulu,” kata Riana.

Pihaknya pun berjanji, pihak Kanwil DJP Bali akan menjelaskan duduk permasalahannya ke media.

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali, AA Ngurah Alit Wiraputra, siap memfasilitasi pengusaha khususnya Gede Hardi untuk berunding dengan Kanwil DJP Bali.

“Apalagi Hardi adalah anggota Kadin Bali, tentu kami akan bantu kalau diminta,” katanya kepada Tribun Bali.

Sebab, imbuh dia, Kadin memang memiliki fungsi antara lain melindungi anggotanya, termasuk membantu mengupayakan penyelesaian jika ada masalah. “Kalau bukan anggota ya kami tidak bisa bantu,” imbuhnya.

Walau demikian, Wiraputra tetap akan berada di tengah dan melihat kondisi riil di lapangan.

“Tentu saya imbau pengusaha di Bali, khususnya anggota Kadin, untuk taat membayar pajak. Melakukan pelaporan dengan benar dan tidak menyembunyikan harta,” tegasnya.

Sedangkan untuk Ditjen Pajak, khususnya Kanwil DJP Bali, juga diharapkan paham dengan kondisi ekonomi yang cukup berat belakangan ini.

“Jadi diberikan jalan keluar yang terbaik ke pengusaha,” katanya. Apalagi khususnya, kata dia, banyak pengusaha di Bali yang memang sedang terpuruk. Mengenai kasus Hardi, Alit beranggapan bahwa pajak telah melakukan prosedur yang sebenarnya. “Setahu saya, kantor pajak memang punya kewenangan. Kalau memang dianggap wajib pajak tidak benar, maka akan langsung disita dan ditahan badan,” katanya.

“Saya pikir kantor pajak juga tidak akan melakukan tindakan yang destruktif begitu jikalau wajib pajak melakukan tindakan yang benar,” tegasnya. Apabila setelah itu, jelas dia, masih belum puas maka wajib pajak bisa melakukan gugatan. (*)

Berita Terkini