Simpang Ring Banjar

Ritual Sang Hyang Sampat untuk Tanaman, Sudah Ada Sejak Zaman Pra Hindu

Penulis: I Made Prasetia Aryawan
Editor: Irma Budiarti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ritual Sang Hyang Sampat Desa Pakraman Puluk Puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Tabanan.

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Krama Subak Puakan bersama Desa Pakraman Puluk Puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Tabanan, menggelar tradisi ritual Sang Hyang Sampat satu kali setiap tahunnya.

Ritual ini merupakan sebuah prosesi nangluk merana yang digelar krama Subak Puakan dengan tujuan melindungi tanaman di subak setempat agar terhindar dari segala serangan penyakit atau hama.

Tradisi yang sudah ada sejak zaman Pra Hindu ini pun dilaksanakan secara turun temurun.

Ritual ini kerap dilaksanakan saat tebek tahun atau musim tanam panjang.

Rerahinan (hari) pelaksanaannya pun tak menentu karena melihat situasi dan kondisi tanaman yang ada di subak tersebut.

Namun setiap tahunnya pasti dilaksanakan.

“Tradisi ini digelar satu kali setiap tahunnya dengan tujuan untuk nangluk merana atau menolak bala dan segala tanaman yang ditanam agar terhindar dari penyakit atau hama. Begitu juga agar saat proses bertani dan panen berjalan lancar,” ujar Pekaseh Subak Puakan, I Wayan Sukayadnya saat dijumpai, Jumat (13/7/2018).

Sukayadnya menyebutkan, Sang Hyang Sampat ini memang malinggih di Pura Bale Agung Desa Pakraman Puluk Puluk.

Ada dua Sang Hyang Sampat yakni Sang Hyang Sampat Lanang (Laki-laki) dan Sang Hyang Sampat Istri (Perempuan).

Sang Hyang Sampat ini disusun menggunakan lidi ron yang sudah disucikan, dan antara yang lanang dan istri pun jumlahnya berbeda.

Sang Hyang Sampat Lanang berjumlah 118 katih lidi ron dengan dibalut wastra poleng (hitam putih) dan kuning, sedangkan untuk Sang Hyang Sampat Istri berjumlah 108 katih lidi dengan dibalut kain berwarna putih kuning.

Pada saat ritual digelar, Sang Hyang Sampat pun dihiasi dengan bebeberapa macam bunga seperti bunga cepaka, jepun, dan gumitir serta ditambah dengan lonceng.

Sukayadnya menuturkan, proses ritual diawali dengan upacara byakaonan (pembersihan) oleh krama subak di Pura Bale Agung Desa Pakraman Puluk Puluk.

Setelah proses byakaon, akan ada dua krama terpilih yang akan menyungsung Sang Hyang Sampat ini untuk mengelilingi areal Pura Bale Agung untuk selanjutnya ke wilayah Subak Puakan.

Setelah ada krama yang terpilih baru akan dimulai prosesinya, Sang Hyang Sampat ini nantinya akan bergerak secara sendiri kemudian dua krama yang terpilih ini pun akan mengikuti kemanapun arah dari Sang Hyang Sampat.

“Bisa saja ada yang kerauhan dan ada juga yang tidak,” tuturnya.

Dia melanjutkan, setelah mengelilingi areal Subak Puakan, Sang Hyang Sampat nantinya akan kembali lagi ke Pura Bale Agung untuk di-linggih-kan.

Mengelilingi Areal Sawah

Ritual Sang Hyang Sampat ini biasanya dilaksanakan selama tiga hari.

Karena Sang Hyang Sampat akan tedun untuk mengelilingi seluruh areal sawah.

Sang Hyang Sampat akan mengelilingi seluruh Subak Puakan dengan luas sekitar 86 hektare dan terdiri dari lima tempek yakni Tempek Puakan I, Tempek Puakan II, Tempek Melaka, Tempek Ngesta, dan Tempek Munduk.

“Proses ritual berjalan selama tiga hari, karena akan mengelilingi semua areal sawah yang ada di Subak Puakan,” jelas Pekaseh Subak Puakan, I Wayan Sukayadnya.

Sukayadnya pun menyatakan bahwa tak berani menanggung resiko jika ritual sakral ini tidak dilaksanakan.

Pasalnya, dulunya pernah tidak dilaksanakan sehingga mengakibatkan gagal panen akibat serangan hama yang mengganas.

Dengan pengalaman tersebutlah, krama subak akan tetap menggelar tradisi Ritual Sang Hyang Sampat ini.

“Krama subak di sini tidak lagi berani untuk mengabaikan tradisi ini karena pernah kejadian pertanian kita mengalami gagal panen karena diserang hama sehingga untuk ke depannya akan tetap dilaksanakan,” tandasnya. (*)

Berita Terkini