Simpang Ring Banjar

Jejak Sejarah Bali Tempo Dulu di Desa Puhu, Kuatnya Sistem Gotong Royong & Angkul-angkul Kuno Ini

Penulis: I Wayan Eri Gunarta
Editor: Ady Sucipto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Potret salah satu angkul-angkul kuno yang masih di pertahankan krama Banjar Puhu. Foto diambil, Jumat (18/1/2019)

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Suasana Bali tempo dulu masih sangat kental di Banjar Puhu, Desa Puhu, Payangan masih.

Mulai dari suasana yang sunyi dan sejuk hingga aktivitas warga yang masih tradisional.

Namun yang paling unik ialah angkul-angkul atau candi keluar-masuk rumah warga yang hampir 70 persen bentuk dan bahannya sama.

Yakni batu padas coklat, warga setempat menyebutnya ‘Paras Buahan’.

Kelian Adat Banjar Puhu, I Made Suardika (50) mengatakan, angkul-angkul paras buahan ini, sudah ada bahkan sejak ia kecil.

Lantaran memiliki nilai sejarah, ia dan 70 persen krama setempat memilih untuk tidak menggantinya dengan style angkul-angkul masa kini.

Menurut Suardika, sejarah keberadaan angkul-angkul paras buahan ini relatif unik.

Dulu, proses pengerjaannya dilakukan secara gotong royong, yang dikomandoi seorang tokoh masyarakat setempat.

“Kami lupa nama beliau, tapi eyangnya Wayan Bokor, warga sini,” ujarnya.

Tokoh tersebut, kata Suardika, saat itu menjabat bendesa, dan menguasai tehnik pertukangan. Atas komandonya, krama Banjar Puhu dikumpulkan dan diajak membangun angkul-angkul masing-masing rumah.

Pembangunan ini, mulai dari mencari paras buahan di Sungai Yeh Wos, yang berjarak sekitar 200 meter dari atas pemukiman warga.

Setelah paras terkumpul, lalu diangkut secara gotong royong, lalu disusun menjadi angkul-angkul secara gotong royong.

“Mulai dari mencari paras hingga proses pembuatan dilakukan secara gotong royong. Setelah pengerjaannya kelar di rumah ini, lalu pengerjaannya pindah ke rumah tetangga, begitu seterusnya sampai semua rumah memiliki angkul-angkul model ini,” ujarnya.

Sejumlah krama istri tengah mempersiapkan sarana upakara untuk ritual magpag toya di Subak Puhu, Jumat (18/1/2019) (Tribun Bali/I Wayan Eri Gunarta)

Suardika dan warga lainnya kagum terhadap angkul-angkul ini. Meskipun tidak menggunakan bahan pelekat, namun hingga sekarang kondisinya masih kokoh.

Selain itu, meskipun usianya sudah relatif tua, namun materialnya tak kropos. Kebulatan tekad masyarakat mempertahankan angkul-angkul ini, telah mengundang wisatawan.

Halaman
12

Berita Terkini