TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Wayan Mawan merupakan satu di antara segelintir seniman patung yang masih tersisa di Banjar Buruan, Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar.
Menggeluti seni pahat sejak 36 tahun lalu, bukanlah hal yang mudah baginya. Terlebih di tengah kondisi pasar yang semakin ketat.
Namun beruntung, ketekunannya dalam melestarikan kesenian ini berbuah manis karena banyak kolektor maupun pemilik modal yang kerap melirik karyanya.
Ditemui di rompak tempaknya bekerja, Minggu (23/6/2019), pria kelahiran tahun 1964 ini, tengah sibuk memahat kerajinan bertemakan pewayangan.
Meskipun usianya tak muda lagi, hantaman pahatnya pada kayu masih kuat dalam membentuk estetika pada material kayu kamboja.
“Antara pikiran dan fisik harus seimbang untuk menghasilkan sebuah karya,” ujarnya.
Kepada Tribun Bali, Mawan mengatakan, dirinya sudah menggeluti seni ukir sejak masih anak-anak.
Berawal dari belajar di setiap usaha kerajinan milik warga di Banjar Buruan, akhirnya iapun berhasil mendirikan sebuah usaha kerajinan, tepatnya pada tahun 1980 an.
Saat ini, ia memperkejakan sebanyak lima perajin.
“Di sini dulu kampungnya perajin, jadi secara otomatis saya dibentuk oleh lingkungan,” ujarnya.
Kakek empat cucu ini mengatakan kondisi pemasaran kerajinan patung kayu memang sudah redup sejak awal tahun 2000an.
Namun beruntung, dirinya telah memiliki popularitas dalam bisnis ini, sehingga ia memiliki pelanggan tetap yang semuanya berasal dari kalangan pemodal.
Karyanya tak hanya menjadi pajangan di rumah-rumah orang berkelas, tetapi juga di tempat umum yang bernilai seperti di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta hingga Kantor Kedutaan Beijing.
“Awalnya buka usaha, karena melihat dulu perkembangan kerajinan sangat pesat, makanya saya membuka wadah untuk para perajin. Meskipun saat ini pemasaran meredup, astungkara usaha saya masih eksis karena saya memiliki banyak langganan kolektor,” tandasnya.
Mawan menjelaskan setiap karyanya selalu bertemakan pewayangan, Ramayana dan Mahabharata, dengan bahan baku kayu kamboja.
Penggunaan material tersebut, kata dia, sangat penting dalam mewujudkan karya yang baik.
Hanya saja untuk mendapatkan pohon yang bagus kini sangat sulit. Bahkan dari 10 pohon yang dibelinya dari luar Bali, yang bisa dibentuk menjadi karya bagus sekitar satu atau dua.
“Kendalanya di bahan baku, selain sulit mendapatkan kayu yang sesuai dengan karakter yang akan kita buat, persaingan dalam mendapatkan kayu ini juga ketat,” ujarnya.
Meskipun demikian, segala kesulitan yang dihadapi Mawan tidak sia-sia. Satu kerajinan ukuran 3 meter x 80 centimeter (cm) laku seharga Rp 150 juta.
“Saya tidak bekerja sekadar mencari uang, tapi sangat menjaga kualitas. Makanya, satu patung proses pembuatannya bisa memakan waktu tiga sampai empat bulan,” tandasnya.
Optimistis Akan Bangkit
Para perajin di Banjar/Desa Buruan, Blahbatuh saat ini didominasi oleh orang tua karena generasi muda sebagian besar beralih ke bidang pariwisata.
Bahkan, generasi muda yang masih menggeluti industri kerajinan hanya sekitar tiga persen saja. Kondisi tersebut juga dikarenakan pada awal tahun 2000an, industri kerajinan sangat anjlok.
Pengusaha Kerajinan, Wayan Mawan, Minggu (23/6/2019) mengatakan, saat ini generasi muda di Banjar Buruan sangat jarang ada yang mau menggeluti dunia kerajinan.
Bahkan, kata dia, saat ini hanya ada sekitar tiga persen generasi yang mau menekuninya. Bahkan dalam usaha yang dibukanya, ia hanya memiliki lima orang pekerja, yang semuanya sudah berumur.
“Dulu sebelum 2000an, sebagian besar anak-anak bekerja jadi perajin. Karena saat itu, hampir setiap hari laku. Tapi setelah Bom Bali, patung tidak laku, entah apa sebabnya. Makanya banyak yang lari ke pariwisata,” ujarnya.
Sebagai upaya agar perajin di Banjar Buruan tidak punah, iapun terus mensosialisasikan ke generasi muda supaya mau menggeluti usaha ini lagi.
Tak hanya itu, ia juga saat ini mulai menanamkan kecintaan pada kerajinan pada cucu-cucunya yang masih anak-anak. Ia memiliki keyakinan bahwa kerajinan seperti ini akan bangkit lagi.
“Sekarang mobil bukan barang mewah lagi, beli tanah juga sudah biasa. Saya yakin, orang yang berduit, kalau ingin membeli sesuatu yang berharga, pasti larinya ke kerajinan. Karena itu, saya selalu kasih tahu ke generasi muda Banjar Buruan, agar tidak meninggalkan pekerjaan warisan leluhur ini. Saya juga menekankan ke tiga orang cucu saya, supaya mau belajar mematung. Astungkara, saat ini masih tahap pengenalan,” ujarnya. (*)