TRIBUN-BALI.COM, JEMBRANA - I Ketut Deka dan Ni Ketut Sumiarti sudah 19 tahun bergelut di dunia kerajinan ingka. Kerajinan lidi dari pohon kelapa itu telaten mereka kerjakan di areal rumahnya.
Sayangnya, mereka terganjal permodalan untuk mengembangkan usaha. Padahal ada niat untuk mengajak warga sekitar berusaha bersama untuk mengembangkan perekonomian.
Deka mengaku ada banyak pesanan dari masyarakat. Namun kurangnya modal membuat ia tidak bisa bergerak leluasa.
Belum lagi promosi dagang yang terbatas karena tidak adanya media untuk menyebarluaskan.
Padahal kualitas ingka buatan warga Banjar Rening Desa Baluk, Negara itu bisa diadu dengan hasil kerajinan ingka daerah lainnya.
"Kami terganjal modal. Di beberapa daerah bisa dapat modal dan menunjukkan pelatihan sampai ke Jakarta. Tapi kita cuma diam di tempat," ucapnya, Selasa (16/7/2019).
Ingka yang dibuat Deka ukurannya beragam. Proses pembuatan ingka khas Banjar Rening pun tidak bisa dilakukan asal-asalan.
"Kami berani diadu, meski memang harga kami lebih mahal sedikit dibanding daerah lainnya. Tapi harga dan kualitas berani lah dibandingkan," ungkapnya.
Deka pun menuturkan proses pembuatannya. Pertama, ia mengumpulkan daun kelapa. Tapi bukan sembarang kelapa. Bahannya harus dari daun kelapa jenis gading.
Usai mendapat dahan daun, ia kemudian melakukan penyerutan. Dari penyerutan ini, akan terbentuk lidi-lidi yang diikat serupa sapu lidi.
"Kami gunakan khusus kelapa gading. Tidak bisa kelapa yang lain. Makanya harganya lebih mahal," imbuhnya.
Ia melanjutkan, seusai diserit, lidi-lidi itu dijemur selama dua hari. Setelah kering, baru di hari ketiga akan dibuat kerajinan anyaman ingka.
"Coba lihat ingka saya, terlihat tidak ada ujungnya. Nah, ini meski dibanting tidak akan lepas. Ini yang membuat beda. Paling tidak sehari bisa setengah lusin atau enam biji," tegasnya.
Menariknya, dalam membuat anyaman ingka ini, lidi didapat dari pemilik kebun atau membeli satu papah atau dahan daun kelapa yang harganya Rp 2.000.
Sejatinya pembuatan ingka ini melibatkan banyak orang. Sejauh ini semua proses pembuatan dia kerjakan sendiri.
"Sebenarnya banyak yang mau untuk bekerja. Tapi ongkos kerjanya belum bisa didapatkan. Banyak yang sudah ke sini. Intinya masih kesulitan dengan dana," ungkapnya lagi.
Satu lusin ingka buatan Deka dijual seharga Rp 100 ribu. Sedangkan ingka ukuran besar, per bijinya dijual Rp 60 ribu. Kemudian, ingka ukuran sedang Rp 10 ribu per biji.
Saat ini ia membuat ingka hanya sesuai dengan pesanan. Ia belum mendistribusikan ke toko-toko atau pasar-pasar di Jembrana.
Namun pesanan ingkanya sudah masuk ke luar pulau. Contohnya ke Kalimantan, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
"Setiap bulan ada saja tiga lusin pesanan. Tapi ini menjadi usaha sampingan saja. Karena belum cukup untuk pendapatan pasti. Tapi kami juga bisa melayani membuat sampai 20 lusin per bulan. Dan saya cuma pekerja serabutan. Jadi bisa fokus bantu istri buat ingka ini," terang bapak lima anak itu.
Berharap Ada Orangtua Angkat
Pj Perbekel Desa Baluk, IB Surya Dharma menyatakan selain kerajinan ingka, desanya juga memproduksi beberapa kerajinan seperti pande besi, dan koran bekas di Desa Baluk.
Tidak hanya itu, dahulu juga ada kerajinan batok kelapa di Banjar Baluk II. Namun, kegiatan itu sudah tidak aktif karena tidak ada pemasaran.
"Inilah yang menjadi persoalan kami. Semoga ada cara untuk ada 'orang tua angkat'. Bagaimana pemasaran bisa cepat dan laku terjual sehingga proses produksi melibatkan warga terus berjalan," ungkapnya. (*)