"Tampaknya fillsafat hidup ini yang menuntun tindakan Pak Frans dalam keseharian. Dimana-mana, tak segan-segan Pak Frans memberikan sumbangan yang tinggi. Sumbangan untuk berbagai kegiatan kelompok, agama, suku, dan ras. Itu sebabnya, Pak Frans dipanggil sebagai pengusaha yang nasionalistis. Beliau tak henti-hentinya memikirkan nasib orang lain, dan memikirkan nasib bangsanya. Tatkala terjadi peristiwa reformasi tahun 1998, Pak Frans membangun komunitas sosial, untuk mengantisipasi agar kericuhan tidak merembet hingga ke Bali. Usaha yang dilakukan ternyata sukses," kata Windia melanjutkan.
Sebagai orang teknik sipil, Pak Frans juga dikenal sebagai orang yang sangat teliti, detail, dan tegas.
"Bicaranya sistimatis, lugas, dan tidak pandang bulu. Langsung to the point. Tidak ada diplomasi. Yang salah ya salah dan yang benar ya benar. Begitu Pak Frans sudah mengambil keputusan tentang pilihan yang dianggap benar, maka Pak Frans akan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan ikhlas," kata Windia.
"Kita harus bertanggung jawab penuh terhadap apa yang kita katakan, agar kita bernilai," kata Windia menirukan pesan Pak Frans.
Terhadap semua karyawannya, Pak Frans juga dikenal tanpa tedeng aling-aling. Tegas dan keras, tetapi kesejahteraan karyawan sangat diperhatikan.
Windia mengatakan, pada suatu ketika, ia diajak Pak Frans meninjau Kampus Politeknik Internasional Bali (PIB) di Pantai Nyanyi, Kediri, Tabanan. Tanpa basa-basi, Pak Frans langsung berkeliling mengadakan peninjauan kawasan. Kalau ada yang tidak beres, Pak Frans tidak segan-segan berteriak memberikan komando perbaikan. Karyawannya hanya berani mengatakan siap pak, siap pak.
"Setelah inspeksi selesai, Pak Frans berbisik kepada saya. Harus begitu Pak Windia. Pimpinan harus tegas. Bahkan hanya dengan mendengar berita kedatangan kita saja, maka para karyawan sudah menganggap hal itu sebagai sebuah kontrol," kata Windia.
"Kini Pak Frans sudah tiada. Kita mengenal Pak Frans sebagai seorang yang loyar, loyal, konsisten, sosial, bertanggung jawab, dan merawat pertemanan dengan hati. Pak Frans sering menelpun saya berjam-jam, untuk urusan sosial dan politik-kebangsaan. Memikirkan nasib veteran. Sering mengundang saya makan malam atau makan siang. Saat ini sudah tidak ada lagi dering telpun di pagi hari, untuk ngobrol berjam-jam. Dan pesta malam itu, adalah pesta yang terakhir bersama Pak Frans. Selamat Jalan Pak Frans. Merdeka," tutup Windia mengenang kisah bersama Pak Frans.(ADV)