Itu berarti kompetensi insan pers harus ikut diupgrade dan ditingkatkan jadi lebih baik.
Berubah untuk jadi lebih baik itu tuntutan dunia dewasa ini, yang juga sedang berubah cepat, ucap dia.
"Kalau dunia berubah tapi kompetensi mandek, maka terjadi disconnect (keterputusan) antara kualitas jurnalis yang menulis dengan obyek yang ditulisnya. Misalnya, kini ada fintech, ada fenomena-fenomena baru lainnya, itu harus dikuasai," ucap Nuh.
Menurut Nuh, level kompetensi jurnalis ada tiga. Pertama dan paling dasar adalah kompetensi hanya menyampaikan apa. Misalnya, ada kecelakaan, dan diberitakan tentang kecelakaan itu.
Namun dengan adanya obesitas berita dan informasi saat ini, karena mencari informasi kian mudah, maka semata-mata memberitakan "apa" sudah tidak memadai lagi. Media bisa ditinggalkan pembacanya jika informasinya hanya tentang apa.
Setidaknya, menurut Nuh, jurnalis kini sudah harus melangkah ke level mempertanyakan "apa".
Artinya, wartawan mulai melakukan analisis tentang mengapa sesuatu itu (katakanlah, kecelakaan) terjadi.
"Kompetensinya pun harus ditingkatkan untuk mampu menggali 'mengapa', ada apa di balik terjadinya sesuatu," tandas Nuh, yang juga mantan Menristek.
Level kompetensi lebih lanjut adalah media mampu memberi jawaban atau mengungkapkan alternatif solusi agar sesuatu tidak terjadi.
Jadi, tak hanya menyoroti, tapi juga ikut memikirkan bagaimana jalan lebih baik.
"Jadi awalnya hanya menyajikan hint sight, kemudian insight, dan selanjutnya foresight. Jadi, implikasi dari kemerdekaan pers itu luas sekali, dan pengaruhi kemajuan bangsa," ungkap Nuh. (sunarko/dion db putra)