Wayan Gendo: Ahli Pidana dan Bahasa Untungkan Jerinx

Penulis: Putu Candra
Editor: Aloisius H Manggol
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - I Gede Ary Astina alias Jerinx saat mengikuti sidang perkara dugaan ujaran kebencian 'IDI Kacung WHO' di PN Denpasar, Selasa (13/10/2020).

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sidang perkara dugaan ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (22/10/2020).

Dalam sidang kali ini mengagendakan mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan tim penasihat hukum Jerinx.

Tim hukum yang dikoordinir oleh I Wayan "Gendo" Suardana menghadirkan ahli bahasa, Made Jiwa Atmaja dan ahli pidana, Hery Firmansyah.

Dari keterangan atau pendapat yang disampaikan dua ahli tersebut di hadapan majelis hakim dan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), dikatakan Gendo sangat menguntungkan drummer Superman Is Dead (SID) itu.

"Dua ahli yang telah memberikan pendapatnya di persidangan sangat banyak menguntungkan Jerinx," ujar pemilik Gendo Law Office (GLO) bersemangat.

Dijelaskan Gendo, dari sisi pidana, ahli mengulas terkait legal standing Pelapor.

Bahwa dr I Gede Putra Suteja tidak punya kualifikasi sebagai korban sebagaimana Pasal 27 yang didakwakan.

"Karena Pasal 27 adalah delik aduan absolut. Maka yang harus mengadu adalah korban langsung. Tidak bisa diwakilkan," jelasnya.

Kemudian terkait surat kuasa yang disinggung ahli, kata Gendo, pelaporan tidak dikenal dalam pidana.

Apalagi pengaduan.

"Pengaduan harus korban. Korban sendiri yang harus melapor, tidak bisa diwakilkan. Itu delik aduan. Apalagi delik aduan absolut. Oleh karena delik aduan, legal standing korbannya tidak ada.

Maka sebetulnya dalam Pasal 27 itu tidak memenuhi unsur. Tidak ada korban, karena yang harus diperiksa sebagai korban adalah Daeng Mohammad Faqih, Ketua Umum IDI. Apalagi postingan Jerinx untuk PB IDI. Bukan untuk IDI Bali," terangnya.

"Terkait legal standing korban, apakah bisa dr Putra Suteja menjadi Pelapor dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE?. Bisa menjadi pelapor, karena siapa saja bisa melapor. Tapi apakah dia langsung berkualifikasi sebagai korban. Tidak.

Karena yang harus menjadi korban adalah ketua umum PB IDI. Tidak bisa kuasakan, karena dalam pidana tidak mengenal surat kuasa. Itu hanya dikenal di perdata," imbuh Gendo.

Lanjut Gendo, yang juga menarik disampaikan ahli, bahwa Pasal 27 ayat (3) korbannya harus individu.

Absulut individu.

Kehormatan individu. Bukan kehormatan lembaga.

"Jadi kalau yang mengadukan sebagai korban pencemaran nama baik adalah IDI sebagai lembaga, itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai korban. Sehingga menurut saya keterangan ahli pidana jelas Pasal 27 nya gugur," katanya.

Sedangkan dalam konteks Pasal 28 pun begitu kata Gendo. Ada norma pokok di Pasal 156, 157 KUHP. Maka disana disebutkannya ada batasan unsur Antargolongan.

"Ahli tadi menjelaskan, bahwa unsur antargolongan harus ada dua atau lebih golongan yang terlibat di sini. Tidak boleh individu versus golongan, tapi harus ada dua golongan.

Makanya makna SARA itu adalah Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. Antargolongan tanpa spasi. Maka harus ada dua atau lebih golongan yang kemudian timbul kebenciannya atas postingan Jerinx atau yang berkonflik," terang Gendo.

"Karena tidak ada dua golongan atau lebih. Maka sebetulnya kualifikasi atau unsur Antargolongan gugur. Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konsitusi, ahli mengatakan, ini bertentangan dengan asas legalitas. Sehingga dia gugur," lanjutnya.

Selain pendapat ahli hukum, pendapat ahli bahasa kata Gendo juga sangat menguntungkan terkait pembahasan menukik pada soal bahasa dan sastra. Tidak hanya bentuk.

"Ahli bahasa tadi mengulas soal kata itu ada bentuk, akustik dan kemudian komponen mental. Kalau ahli bahasa sebelumnya hanya mengulas bentuk. Misalnya kata "menyerang" makna leksikal menurut KBBI. Itu tidak cukup. Dan ahli tadi menjelaskan harus dicari komponen mentalnya atau niatnya. Apakah niatnya menghina atau membenci," paparnya.

Untuk menguji itu lanjut Gendo, konteksnya dicari dengan diksi. Kemudian pemilihan diksi yang digunakan harus diuji.

"Diuji dengan apa pendapat si pengujar atau pembuat. Apa pendapat komunitasnya. Apakah benar itu kebiasaannya si pembuat, karena seorang seniman.

Kemudian itu sesuatu yang diamini oleh seluruh ahli-ahli bahasa internasional. Biasa itu penyimpangan makna. Misalnya kata menyerang artinya belum tentu menyerang, tapi mempertanyakan,"

Pula kata Gendo, di persidangan ahli bahasa mencontohkan penyimpangan makna bukan hanya dilakukan oleh seniman.

Tapi juga oleh jurnalis dalam menulis.

"Misalnya, pungkas gubernur. Padahal kata pungkas itu di KBBI artinya membantah. Harusnya gubernur membantah, baru pungkas gubernur. Tapi kadang-kadang pungkas dipakai penutup. Ahli bahasa sampai membedah konsep itu," tuturnya.

"Sehingga sampai pada kesimpulan dengan penjelasan jerinx, penjelasan teman-temannya itu tidak terpenuhi niat jahatnya," tegas Gendo. (*)

Berita Terkini