Serba Serbi

Dang-Dung, Demikian Bunyi Kulkul Pejenengan Tanda Marabahaya Akan Datang

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kulkul Pejenengan di Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA–  Kulkul Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung, memang memiliki kisah gaib dan mistis tersendiri.

Konon jika kulkul ini bersuara, maka akan ada marabahaya terjadi di Bali maupun di Indonesia.

Satu diantaranya kejadian besar di Bali, yakni bom Bali I dan bom Bali II.

Kemudian kejadian erupsi Gunung Agung, yang bahkan pertama kali didengar oleh Sri Sultan di Yogyakarta.  

Baca juga: 3 Zodiak Ini Terkenal Sebagai Netizen Nyinyir, Mereka Hobi Memberikan Komentar Negatif di Medsos

Baca juga: Dihukum Cambuk Hampir 150 Kali karena Kasus Pemerkosaan, Pria di Aceh Jadi Pemberitaan Media Asing

Baca juga: 10 Pasangan Zodiak yang Sangat Cocok, Sagitarius dan Aries Tahu Cara Bersenang-senang

Jero Mangku Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung, I Nyoman Sastrawan, menjelaskan ihwal asal muasal kulkul di Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung.

“Beliau (kulkul) berasal dari Blambangan, kemudian tarunya bukan taru sembarangan namanya adalah taru silegoi,” sebutnya kepada Tribun Bali, Minggu (29/11/2020).

Pemangku yang masih pegawai pemda di Kabupaten Klungkung ini menjelaskan kejadian mistis yang pernah dialaminya.

Ia yang telah lama ngayah, mengatakan bahwa pernah mengikuti pelatihan tentang kepariwisataan di sebuah hotel.

Sekiranya tahun 2011, ia kemudian beristirahat usai pelatihan itu.

Namun entah mengapa, tepat jam 12 malam ia kaget luar biasa.

Tubuhnya terasa terbakar,  dan sangat panas.

Ia pun bangun dari tempat tidur, dan duduk bersila.

“Kebetulan saya tidak menggunakan pakaian adat, karena sedang dinas kantor,” jelasnya.

Ia pun meminta izin dan memohon, kepada bhatara-bhatari yang datang.

Agar memberitahu ada apa gerangan.

“Saya bertanya dengan bahasa sederhana, siapakah gerangan yang hadir. Apakah Ida Bhatara di Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung, atau Sang Hyang Tohlangkir, atau mungkin Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling di Nusa Penida,” sebutnya.

Ternyata yang hadir, secara gaib adalah Ida Bhatara di Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung.

“Beliau bersabda waktu itu, agar saya setelah selesai pelatihan matur piuning (memberitahu) kepada Puri Saraswati, dan seluruh puri di Klungkung bahwa kulkul tidak boleh lagi disuarakan secara manual atau dipukul oleh manusia,” tegasnya.

Sebab beliau (kulkul) sudah bersuara gaib, dan itu sangat sakral atau dikeramatkan.

“Jika ditepak atau dipukul maka akan cemer jadinya kotor. Tujuannya supaya kulkul ini benar-benar suci dan sakral,” imbuhnya.

Beliau melanjutkan, bahwa akan berbunyi sendiri secara gaib saat ada pertanda bencana.

Beliau akan memberitahu panjak (masyarakat) Bali agar berdoa dan menghaturkan yadnya memohon keselamatan.

Akhirnya sejak 2011 kulkul ini tidak lagi dipukul atau disuarakan secara manual.

“Bahkan beliau (kulkul) memberitahu saya, agar dibuatkan duplikat kulkul lainnya. Dan duplikat itu yang ditepak atau disuarakan saat ada upacara Panca Yadnya di puri. Sehingga tetap ada suara kulkul ketika ada upacara di puri,” katanya.

Saat Tribun Bali mendatangi pura ini, ada kulkul di dalam bale kulkul di tegah pura.

Penjelasan pemangku, memang dua kulkul ini menunjukkan purusha dan pradana atau lambang lanang istri berdampingan.

Sejatinya kulkul itu, adalah lambang raja dan ratu secara niskala di Bali.

Duplikatnya sampai saat ini belum dibangun, karena masih mencari kayu yang tepat.

Mengenai suara, pemangku mengatakan memang tidak sama dengan kulkul lainnya.

Bahkan yang mendengar suara kulkul pun tidak sembarang orang.

“Suaranya dang-dung, dang-dung, itu ada pengertiannya yang sangat dalam. Dang itu depang (biarkan) dan dung itu bermakna tolong. Jadi maksud suara itu adalah meminta tolong agar membiarkan umat selamat dan jangan diambil,” jelasnya.

Beliau (kulkul) memohon agar jangan mengambil umatnya, saat terjadi bencana.

Berbeda dengan suara kulkul biasa yang memiliki batasan jarak pendengaran.

Kulkul pejenengan ini bahkan bisa terdengar sampai ke Jawa dan Lombok.

Suaranya bisa panjang, bisa pendek tetapi ritmenya hanya dua yakni dang-dung.

“Depang tulung, depang tulung, atau jangan diambil ini milik saya. Artinya begitu beliau bersuara, semua harus ngerastiti, nunas wangsuh pada beliau agar rahayu,” tegasnya.

Biasanya setelah beliau bersuara, maka pamedek akan ramai datang ke Pura Pejenengan Puri Agung Klungkung.

Menghaturkan banten lalu sembahyang, memohon perlindungan.

Kemudian nunas tirta dan meminta perlindungan dengan gelang tridatu, sebagai simbol Tri Murti.

“Jika pamedek tidak membawa gelang tridatu, maka bisa minta di pura. Kalau bawa sendiri juga tidak masalah, nanti dipasupati di pura,” jelas pemangku.

Gelang tridatu ini pertanda, bahwa umat telah mendapat perlindungan beliau.

Benang tridatu sendiri ada artinya, sebagai simbol Trimurti.

Kekuatan tiga dewa nan agung, yakni Wisnu, Brahma, dan Siwa.

Sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, pemelihara, dan pelebur.

Biasanya jika kulkul ini bersuara, maka pemangku akan mendapatkan wangsit untuk banten apa yang perlu dihaturkan.

Tetapi khusus umat yang datang ke pura dibebaskan, boleh membawa pejati atau canang sari sesuai kemampuan umat.

Pemangku menyebutkan, bahwa ada kaitan erat antara Ida Bhatara Pejenengan Agung, Sang Hyang Tohlangkir di Gunung Agung, dan Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling di Nusa Penida.

Khususnya dalam menjaga umat Bali dan sekitarnya dari bencana atau marabahaya.

Layaknya Tri Murti yang menjaga alam semesta.

“Maka itu, ketika beliau (kulkul) bersuara pasti ada bencana. Selama saya hidup, jika ida bersuara maka ada gempa bumi atau kejadian apa,” jelasnya.

Bahkan sebelum masuknya virus Covid-19 ke Bali, banyak umat yang mendengar bahwa kulkul ini bersuara gaib.

“Sebelum Corona, sempat dua kali di hari berbeda ida bersuara. Hanya saja, memang ketika Covid-19, agar menghindari kerumunan pamedek datang sendiri ke pura memohon keselamatan, dan tetap menjaga jarak,” jelasnya.

Sebelum pandemi ini melanda Pulau Dewata, banyak yang mendengar suara beliau bahkan sampai ke beberapa kabupaten diantaranya Klungkung, Bangli, Gianyar, hingga Karangasem.

Memang ada suruhan, kata dia, untuk menggambar tapak dara di pintu depan rumah agar terhindar dari marabahaya.

Termasuk menaruh daun pandan, sebagai simbol tolak bala begitu juga bawang merah.

Namun untuk kejadian paling besar, adalah ketika bom Bali I dan bom Bali II yang menelan banyak korban jiwa.

“Selama satu bulan setelah bom itu, pura ini ramai sekali. Bahkan pamedek datang dari seluruh penjuru Bali sembahyang hingga jam 12 malam,” sebutnya.

Sebelum bom, kulkul juga berbunyi karena ada blabar agung  (banjir besar) di Tukad Unda.

Umat yang mendengar suara kulkul, segera datang ke pura berdoa.

“Beliau juga memberi tanda lainnya, seperti adanya tsunami dan kejadian besar ataupun kecil,” imbuhnya. (*).

Berita Terkini