Pura di Bali

Pura Maospahit, Saksi Bisu Jejak-jejak Keberadaan Majapahit di Bali

Penulis: AA Seri Kusniarti
Editor: Wema Satya Dinata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jro Mangku Ketut Gde Sudiasna saat berpose di jaba sisi Pura Maospahit.

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Saksi bisu kedatangan Majapahit ke Bali, terlihat jelas di cagar budaya Pura Maospahit, Jalan Sutomo, Banjar Grenceng, Pamecutan Kaja, Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali.

Situs bangunan, dengan dominasi bata merah ini, terlihat unik karena adanya patung teracota dari tanah liat.

Di Beberapa pelinggih yang ada di dalam jeroan. Serta beberapa relief ketika era Majapahit.

Jro Mangku Ketut Gede Sudiasna, menjelaskan pura ini diresmikan oleh Pemerintah Kota Denpasar tahun 2019.

Baca juga: Ketua PSSI Angkat Bicara Terkait Kepastian Kompetisi dan Kontrak Pemain

Baca juga: Masuk Bali Wajib Tes Swab, Kadispar Optimis Pulau Dewata Tetap Favorit Dikunjungi Wisatawan Domestik

Baca juga: ILC Berhenti Tayang, Karni Ilyas: Mohon Maaf Terlambat Mengumumkan

Resmi menjadi situs cagar budaya di ibu kota Bali, setelah adanya banyak ahli arkeologi.

“Pura ini dibangun oleh Sri Kebo Iwa pada 1200 Caka. Melalui perkembangan dan pengaruh kedatangan Majapahit. Kemudian sekitar tahun 1475, pura ini rampung dan kian megah setelah dipugar,” katanya kepada Tribun Bali Selasa (15/12/2020).

Keunikan pura ini, adalah karena satu-satunya pura menggunakan konsep Panca Mandala di Bali.

Pada umumnya di Bali, menggunakan konsep Tri Mandala.

Jro mangku menjelaskan, konsep Panca Mandala mengadopsi struktur pertahanan di kerajaan Majapahit.

Sebab pada konsep kerajaan, letak keraton ada di tengah dan mendapat perlindungan dari keempat arah mata angin.

Sehingga kondisi keraton benar-benar aman, dengan konsep Panca Mandala ini.

Lima mandala ini, terdiri dari pintu utama yang menghadap Jalan Sutomo.

Kemudian mandala kedua ada di sebelah selatan pura.

Kemudian mandala lainnya, adalah jaba renggat, jaba kembar, jaba sisi, jaba tengah, hingga jeroan.

Baca juga: 3 Zodiak Ini Berbakat Jadi Pengusaha Sukses, Mereka Mampu Mencari Peluang dan Menciptakan Ide Bisnis

Baca juga: Ren Keyu, Pemuda 14 Tahun Asal China Ini Pecahkan Rekor Dunia dengan Tinggi 221 CM

Baca juga: Ini 5 Tanda Bra Harus Segera Dibuang, Apa Saja Itu?

 “Nah di jaba sisi, terdiri dari dua relief, yakni patung garuda sebagai manifestasi Wisnu dan sebelah kirinya patung Bima sebagai manifestasi Brahma,” jelasnya.

Diantara kedua relief yang menjulang ini, ada Panca Korsika yakni relief Dewa Sangkara, Indra, Yama, Kuwera, dan Baruna.

Masuk ke jaba tengah, terdiri dari tajuk pemasuan.

“Masuk ke kiri agung atau candi kurung, masuk ke halaman utamaning mandala ada gedong Candi Raras Maospahit dan Candi Raras Majapahit, serta beberapa manifestasi Tuhan yang berstana di sana,” sebut Jro mangku.

Jika Panca Mandala, pada zaman dahulu menjaga dari segala arah mata angin. Sedangkan Panca Korsika adalah pembersihan, bagi orang atau umat yang akan masuk ke pura ini.

Pada Candi Raras Maospahit, dan Candi Raras Majapahit ini berisi patung teracota yang terbuat dari tanah liat dan memegang senjata dan perisai. Seakan menjadi penjaga pintu masuk.

 Temboknya pun terbuat dari bata merah yang dibajar zaman dahulu setelah tahun 1958 direstorasi, dan tahun 1990 juga kembali direstorasi kuri agungnya.

Untuk bhatara-bhatari yang malinggih di pura, adalah manifestasi Siwa Budha.

Dewa Siwa memberikan kadiatmikan atau kekuatan dan ilmu pengetahuan, sedangkan Budha merupakan lambang kasih sayang. Sedangkan relief penjaga di depan, filosofinya sebagai penjaga.

 Sebab manifestasi Wisnu dalam lambang garuda yang membawa tirta amerta sanjiwani atau air kehidupan.

Kemudian di kiri, adalah relief Bhatara Bayu sebagai manifestasi Brahma untuk kehidupan di dunia.

Sehingga Pura Dang Kahyangan Jagat ini, yang diemong oleh Puri Pamecutan dan Puri Satria. Memang terkenal sangat keramat dan penuh nilai sejarah kuno.

 “Orang ke sini memohon keselamatan, rezeki, pengobatan, dan bahkan memohon anak,” ucapnya.

Luasnya nilai sejarah, apalagi di era Majapahit membuat pura ini didatangi tidak hanya umat Hindu. Tetapi didatangi hingga warga dari berbagai belahan nusantara.

“Cukup membawa pejati, kalau tidak punya bisa bawa canang, atau dupa saja. Intinya ikhlas saja,” sebutnya.

Apalagi dalam kondisi pandemi ini, sangat penting mendekatkan diri ke Tuhan agar diberikan petunjuk terbaik.

“Kini adalah zaman peralihan antara Kaliyuga dan Kertamasa, sehingga balancing yang baik dan buruk harus berdoa di masa ini,” imbuhnya.

Termasuk introspeksi diri dan mulat sarira, sehingga hidup bisa lebih baik.

Jro mangku menjelaskan, suatu hari ada seseorang dari belahan wilayah nusantara datang ke pura. Dengan sebuah petunjuk niskala, ia melakukan sembahyang di dalam pura. Kemudian ia menangis dan matanya merah.

“Setelah saya tanya kenapa sembahyang malah nangis, dijawab bahwa ia melihat banyak leluhurnya di dalam sana, khususnya dari Jawa,” jelasnya.

Kejadian mistis dan hal niskala lainnya juga kerap terjadi. Ada banyak umat budha yang datang, muspa ke pura ini. (*)

Berita Terkini