TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Putu Astawa mengatakan, pandemi Covid-19 sangat memukul pariwisata Bali.
Dilihat devisa yang dihasilkan, Bali telah rugi sebanyak Rp 9,7 triliun dalam sebulan.
"Kalau dari rujukan devisa kerugian devisa itu kan 9,7 triliun per bulan. Jadi tinggal dikalkulasi sudah berapa bulan kami sudah tidak menerima (wisatawan). Sepi lah. Sudah 116 Triliun per tahun itu kalau kami kalkulasi," kata Astawa, Minggu 24 Januari 2021.
Tak hanya rugi dari segi devisa yang dihasilkan, jika dari indikator ekonomi, Covid-19 juga menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi Bali minus, banyak pekerja yang dirumahkan dan tutupnya restoran-restoran.
Di sisi lain, kebijakan pembukaan wisatawan domestik belum terlalu dapat menunjang pendapatan bagi pelaku pariwisata Bali.
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Uno Bakal Ngantor di Bali, Ingin Rasakan Geliat Pemulihan Pariwisata Bali
Pasalnya, wisatawan domestik biasanya ramai melakukan perjalanan ketika musim liburan seperti adanya cuti bersama dan sebagainya.
"Kalau tidak liburan pasti sepi kalau domestik kita. Yang mendominasi kan adalah situasi liburan," tutur mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali itu.
Astawa menyontohkan, seperti saat ini misalnya yang tidak pada musim liburan, kunjungan wisatawan demestik ke Bali sangat sepi.
Situasi ini diperparah lagi dengan adanya pengetatan melalui pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
"Mungkin akhir tahun atau liburan anak-anak sekolah atau cuti bersama pasti ada peningkatan jumlah kunjungan," tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Astawa, di luar situasi liburan, para pelaku pariwisata dipastikan lebih terpukul sehingga untuk memulihkan seperti sedia kala masih membutuhkan waktu.
Pariwisata Bukan Segalanya
Serangan virus Corona atau Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) nampaknya mulai menyadarkan masyarakat Bali bahwa pariwisata bukanlah segala-galanya.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), Prof I Wayan Windia mengungkapkan, kesadaran ini sempat diperdebatkan dalam ujian promosi doktor Program Studi Lingkungan Hidup Nyoman Sudipa sebulan yang lalu.
Dalam penelitiannya, Sudipa menemukan bahwa serangan korona telah membangun kesadaran baru masyarakat Nusa Penida bahwa pariwisata tidak menjamin ekonomi rakyat bisa berlanjut.
"Ia (Sudipa) menandaskan bahwa pariwisata harus dianggap sebagai bonus dari kegiatan pertanian, dan budaya masyarakat Bali," kata Windia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tribun Bali, Kamis 21 Januari 2021.
Sekarang terbukti bahwa masyarakat Nusa Penida kembali sedikit demi sedikit mulai kembali ke ladang dengan menanam kacang, jagung, pisang dan tanaman hortikultura.
Prof Windia mengungkapkan, pariwisata sebagai bonus ekonomi telah sempat dirasakan di Bali sebelum akhir tahun 1969-an.
Buku The Island of Bali-nya Cuvarubias, telah mengundang Walter Spies, Arie Smith, Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Han Snel dan sebagainya datang ke Ubud.
Baca juga: Terkait Rencana Menparekraf Sandiaga Uno Berkantor di Pulau Dewata, Begini Respons Pemprov Bali
Ubud kemudian berkembang sebagai kampung turis yang dinikmati langsung oleh masyarakat setempat.
Di Ubud, mereka menikmati kebudayaan Bali seperti upacara ngaben, menikmati keindahan pura, menyaksikan ritual panca yadnya, menikmati sawah, ritual di subak, melihat petani yang sedang bekerja, menikmati jaringan irigasi subak, menikmati gunung dan sebagainya.
"Jadi, menurut pikiran saya, bahwa kita di Bali jalani saja kehidupan kita sebagai masyarakat Hindu di Bali. Kalau ada turis yang datang ya syukuri, dan kalaupun tidak ada, ya tidak apa-apa," jelas Windia.
Namun sebagai orang timur, maka harus melayani dan menghormati kedatangan wisatawan itu dengan ikhlas dan ramah.
Pada akhir tahun 1960-an, para turis itu menginap di rumah-rumah penduduk (home stay) dan para turis yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam serta budaya Bali.
Baca juga: Teman WNA Rusia yang Ikut Ceburkan Motor ke Laut Tak Dideportasi? Ini Kata Kakanwil Kemenkumham Bali
"Saya masih ingat, bahwa dari Ubud turis semakin menyebar ke Desa Batuan, Sukawati. Kenapa? Karena di Batuan mereka dapat juga menikmati alam berkesenian, dan budaya masyarakat yang sepadan dengan di Ubud," tutur Windia.
Menurut Windia, pariwisata sebagai bonus menyebabkan hasilnya dapat dinikmati langsung oleh rakyat dan menimbulkan pemerataan, tapi tidak menyebabkan pertumbuhan yang drastis.
Apabila terjadi porsi pertumbuhan yang drastis pada umumnya akan dinikmati oleh kaum kapitalis yang kemudian akan menyebab kesenjangan.
"Seperti sekarang yang kita nikmati di Bali," kata Ahli Subak Unud itu.
Lalu apakah kita bisa kembali ke ideologi bahwa pariwisata sebagai bonus?
Bagi Windia, hal itu tentu saja akan sangat berat karena harus ada kesepakatan dan komitmen bersama masyarakat Bali.
Terlebih kaim kapitalis sudah terlanjur menggurita dan pemerintah sudah terlanjur berada dalam zona nyaman.
"Pemerintah terlanjur sangat berharap pada perkembangan pariwisata. Pariwisata yang menyebabkan pertumbuhan, dan penyerapan tenaga kerja.
Tetapi dengan efek negatif berupa migrasi yang masif, penduduk Bali menjadi penonton di pulaunya sendiri, dan transformasi sosio-kultural yang membahayakan," jelas Windia. (*)