Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sektor pariwisata dan ekonomi Bali yang tersungkur akibat hantaman pandemi Covid-19 menjadi keprihatinan banyak orang, khususnya para pelaku pariwisata.
Tak sedikit pengusaha perhotelan hingga restaurant yang gulung tikar, sementara karyawan banyak yang banting setir apapun usahanya asal ada pemasukan.
Akademisi Fakultas Ekonomi (FE) Undiksha Singaraja I Putu Gede Parma, S.St. Par., M.Par., mengungkapkan, justru saat - saat seperti inilah momentum yang tepat untuk re-orientasi Pariwisata Bali.
Me-reorientasi visi pariwisata Bali agar lebih kompetitif melalui gerak dan upaya untuk meyakinkan wisatawan berkunjung berlibur ke Bali baik pasar domestik maupun mancanegara.
• Gelar Rakor Virtual, Menparekraf:Pulihnya Pariwisata Bali Tergantung Keberhasilan Menangani Covid-19
"Me-reorientasi pasar mancanegara yang tidak saja tawaran keamanan untuk berkunjung yang kita berikan, tetapi juga kepastian keamanan kesehatan dari negara wisatawan tersebut berasal termasuk tawaran atraksi, produk yang bisa kita jual kepada mereka dengan mengedepankan orientasi kesehatan dan keamanan,” ujar Parma kepada Tribun Bali, Kamis 18 Februari 2021.
Tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, praktisi, akademisi, dan masyarakat desa adat guna memacu ekonomi ke depan yang lebih kompetitif memikirkan bagaimana skema dan pola meyakinkan pelaku pariwisata.
Sektor-sektor unggulan lain juga kompetitif untuk dikembangkan sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi seperti sektor lapangan kerja, sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan yang selama ini agak ditinggalkan oleh angkatan kerja atau pemuda.
Parma menyampaikan, agar dalam pengembangan sektor-sektor tersebut perlu juga ada daya ungkit yang diberikan pemerintah.
"Seperti melalui pelatihan-pelatihan dasar bertani, bantuan penyediaan lahan garap yang mana bisa menggunakan lahan milik pemerintah, penyediaan atau subsidi bibit, pembantuan pengawasan pada tahap proses produksi, termasuk pengawalan pada pasca produksi melalui pembantuan konsep pemasaran baik di dalam maupun ke luar negeri," papar Kandidat Doktor S3 Ilmu Pendidikan Undiksha ini.
Strategi pengembangan industri ekonomi kreatif termasuk isu-isu yang yang berkaitan dengan ekonomi kreatif perlu dikuatkan, seperti estetika, branding, berbagai model bisnis (seperti rantai nilai atau value chain), sistem informasi dan jaringan, kebudayaan, manajemennya, online dan industri digital, kebijakan perusahaan, statistik publik, piranti lunak (software), bisnis start up, perpajakan, dan desain.
Parma menjelaskan, di Indonesia jenis industri kreatif yang dapat dikembangkan antara lain periklanan atau advertising, arsitektur, pasar barang dan seni, kerajinan atau craft, desain, fashion, video film, dan fotografi, permainan interaktif, game, music, seni pertunjukan, showbiz, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, software, televisi dan radio broadcasting, riset dan pengembangan R&D, hingga kuliner.
“Mengapa industri ekonomi kreatif ini layak dikembangkan ? dikarenakan industri ini memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa serta daerah, berbasis kepada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, serta memberikan dampak sosial yang positif selain dampak ekonominya,” jabar dia.
Pihaknya berharap industri ekonomi kreatif tidak hanya semata menjadi ‘branding’, namun implementasi pergerakan industrinya benar-benar membumi khususnya pada level Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Bali.
"Tidak semata pada skala perusahaan dengan kekuatan modal yang besar melalui pemberian stimulus usaha.
Baca juga: DPRD Bali Harap PPKM Mikro Tak Diperpanjang Lagi, Suyasa Usul Kembali ke Penerapan Prokes Saja