TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Okky Asokawati, model senior Indonesia pernah merasakan bagaimana menjadi seorang yang tak percaya diri.
Hingga kemudian sukses di masa mudanya, menjadi model terkenal.
Personalitas yang didapat Okky dari dunia modelling mengantarnya sukses mendapatkan berbagai pencapaian besar.
Baca juga: Wawancara Khusus Model Senior Okky Asokawati, Merasakan Pribadi yang Tak Percaya Diri
Baca juga: WAWANCARA KHUSUS: Cara Pemkab Klungkung Atasi Masalah Sampah Secara Terintegrasi Lewat TOSS
Baca juga: Wawancara Khusus: Marissa Hutabarat Boru Batak Jadi Hakim di Amerika Serikat
Pernah menjadi wakil rakyat dan kini masih menikmati profesinya, sebagai politisi perempuan.
Berikut cerita lebih lanjut Okky Asokawati saat sowan ke Markas Tribun Network di Jakarta, Kamis 4 Februari 2021.
Faktor sukses di dunia modeling bukan luck saja tentu. Apa saja kalau dari mbak?
Seseorang harus mau keluar dari zona nyaman.
Seperti aku yang tadinya tidak percaya diri, yang tidak nyaman kalau bersama orang lain, tapi karena aku mempunyai impian yang besar, aku ingin terkenal, ingin dihargai, maka aku harus bikin diriku untuk lumer dengan orang lain.
Aku harus belajar bahwa aku harus bisa membawa diri ketika bersama orang lain.
Aku belajar untuk bisa diterima di lingkungan, itu ibaratnya lampu sorotnya itu tidak boleh ke aku, tapi ke orang lain.
Dalam arti kata, pandai-pandailah membuat orang lain senang.
Misal kalau latihan peragaan busana, aku berupaya untuk tidak telat.
Kemudian ketika latihan, kalau yang lain pakai sepatu hak pendek, aku justru pakai hak tinggi.
Karena kepingin jadi top model, karena aku pingin jadi orang terkenal, saat itu aku mikir gimana caranya supaya aku bisa menonjol.
Kalau mau jadi orang yang di atas rata-rata, kita harus melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh orang rata-rata.
Dan temanku saat itu rata-rata pakai hak pendek, pakai kets. Karena waktu itu momennya memang pakai begitu.
Aku pikir, kalau mau jadi top model aku harus kelihatan lebih tinggi, makanya aku pakai hak tinggi.
Peragawati yang lebih senior dari aku, kalau ngomong 'Oky latihan saja pakai hak tinggi, engga capek tuh.'
Itu engga enak banget, tapi di benak aku waktu itu bodo, aku tidak menjegal kamu waktu jalan, aku asyik-asyik saja sama diri aku sendiri, aku ingin jadi top model, aku harus kelihatan tinggi.
Terus kalau kita lihat majalah dari luar, entah itu Bazzar atau Fobe, kalau teman-teman saat itu melihat model bajunya.
Tapi kalau aku lihat pose si model.
Dengan mempelajari pose-pose model luar, aku merasa bahwa poseku akhirnya beda sama mereka (model Indonesia).
Jadi memang harus berani tampil beda, meskipun itu engga enak.
Beda itu engga enak, karena orang melihatnya jadi engga senang, kok kelihatannya kayaknya ambisius banget.
Selama kita engga jegal orang, kita fokus memperbaiki diri sendiri, monggo-monggo saja.
Dapat dukungan dari keluarga?
Alhamdulillah, jadi ketika aku ikut pemilihan putri remaja yang diadakan Majalah Gadis, semua kakakku dukung.
Bahkan kakakku yang nomor tiga, itu dia sponsorin aku.
Jadi sebelum aku masuk karantina, aku dibawa ke salon, rambutku di-wave, dibikin keriting, aku dilulurin sama kakakku itu.
Terus dia sama tunangannya saat itu ngantar juga.
Kakakku itu luar biasa. Semua kakakku yang men-support, kakakku yang pertama itu pramugari.
Dia support aku dalam hal pakaian.
Pakaian, sepatu, zaman dulu sepatu Kickers lagi tren banget, dia beliin dari Belanda.
Kakakku yang nomor dua perannya tuh dia nyecer aku belajar.
Kali-kalian harus hafal, pokoknya dia pingin secara akademik, aku bagus. Jadi dia nge-drill aku benar-benar Spartan.
Tidur siang harus tidur siang, nyicil belajar.
Kalau kakak nomor tiga tentang beauty, kemudian glamor.
Kakakku yang keempat dia lebih ke seni. Dia bisa main gitar kita karang lagu sama-sama.
Kalau sama adikku yang kecil biasanya kita olahraga, entah main sama anjing, main sepeda.
Jadi my siblings itu, mereka punya perannya masing-masing di aku.
Peragawati, penulis, pembicara, artis, politisi, psikolog. Dari semua predikat itu, mana yang nilainya paling dalam buat Anda?
Personality modelling (jadi predikat paling mendalam). Jadi model yang punya personality.
Dengan personality, aku bisa sebagai narsum, orang ajak aku ke politik.
Mungkin kalau hanya personality saja, tapi tidak dibungkus dengan pengalaman modelling, mungkin packagingnya tidak akan menarik.
Tapi dengan pengalaman aku sebagai model, kemudian ada personality karena sekolahku, mungkin itu yang membuat orang jadi mempertimbangkan aku untuk ikut dalam kegiatan mereka.
Terasa tidak pada saat sudah berbaur dengan mereka?
Terasa. Dalam pemilihan topik pembicaraan.
Misal aku bersama teman-teman model, maka kalau mau ngomong yang berbau politik, berbau kondisi republik ini, teman-teman nanya ke aku.
Tapi ketika aku berada di parlemen, ketika ngomong tentang fashion, penampilan, public speaking, para politisi itu nanya ke aku. Alhamdulillah aku enjoy dengan itu.
Bisa dikatakan semua ini saling bertautan, saling memperkaya?
Betul, aku perhatikan selama aku dua periode di parlemen, dengan pengalaman sebagai model, aku merasakan kemudahan untuk melakukan public speaking.
Ketika harus menanya atau berargumen dengan mitra, karena kita sudah terbiasa dilihat orang, terbiasa di panggung, dengan feeding yang bagus dari tenaga ahli, kemudian ditambah pengalaman public speaking, itu membuat kita lebih percaya diri untuk berbicara.
Dibandingkan dengan teman-teman yang tidak ada latarbelakang public speaking, kemudian mereka jadi legislator, yang aku perhatikan jadi tidak selancar ketika aktivis yang berbicara.
Atau mereka-mereka yang punya pengalaman di dunia panggung. Itu yang aku perhatikan.
Calon anggota parlemen dikasih pembekalan, dapat public speaking tidak?
Seingat aku waktu itu tidak dapat (pembekalan public speaking). Lebih kepada teknis sebagai legislator, tapi soft skill tidak secara intens.
Penampilan saja sepertinya tidak. Harus belajar sendiri.
Sementara kalau, kadang-kadang kalau misalnya kita lihat, kawan-kawan di daerah harus diberitahu juga sih.
Dua periode DPR RI cukup panjang. Pencapaian tertinggi seorang Oky di parlemen selama 10 tahun?
Namanya juga legislator, tentu lebih ke keterlibatan aku dalam membuat undang-undang.
Aku amati juga, tidak semua legislator itu betul-betul terlibat dengan isu-isu yang terkait dengan pembuatan sebuah undang-undang.
Karena memang untuk membuat sebuah undang-undang, kita bisa berbicara mengenai substansi itu kalau kita terlibat langsung.
Terlibat secara komitmen, dan menurut aku sebagai legislator, pengalaman tertinggi ketika kita bisa membuat sebuah undang-undang.
Tidak bisa dibilang kerja sendiri, karena itu kerja bareng, kerja kolektif.
Tapi ketika media meminta kita bicara tentang undang-undang yang kita bahas, kita melihat media lebih banyak minta ke kita daripada orang lain, menurut saya itu bentuk puncak, bahwa kerja kita memang bagus di situ.
Sampai pernah ada yang mengatakan padaku, ketika mau terjun, ada politisi senior mengatakan, 'Politisi itu kan selebriti juga lho. Karena nanti diundang TV, diwawancara, itu kan juga selebriti.'
Undang-undang apa yang bikin Mbak Oky puas?
Puas 100 persen itu tidak ada. Karena banyak kepala, banyak pihak, jadi kita harus bisa mengakomodir semua pihak.
Kata puas mungkin aku ganti jadi kata bersyukur ketika bisa terlibat secara intens dalam pembuatan undang-undang BPJS Kesehatan atau BPJS Tenaga Kerja.
Kemudian aku juga bersyukur ketika bisa terlibat membuat undang-undang keperawatan.
Yang kaitannya memang dengan kesehatan, juga aku bersyukur ketika terlibat membuat undang-undang perlindungan pekerja migran yang kita tahu banyak sekali masalahnya.
(tribun network/lucius genik)