TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pro dan kontra menyelimuti rencana proyek jalan tol Gilimanuk-Mengwitani.
Padahal, rencananya jalan tol ini pada pertengahan tahun 2021 ini sudah mulai dikerjakan.
Bahkan, jalan tol yang juga akan melewati wilayah Kabupaten Jembrana ini disebut-sebut akan menggerus 500 hektar lahan.
Mengenai hal tersebut, Anggota DPRD Bali Dapil Jembrana, Kade Darmasusila tidak menampik bahwa alih fungsi lahan tersebut akan terjadi.
Baca juga: Pembahasan Tiga Raperda Belum Juga Dimulai, Ini Alasan Bapemperda DPRD Bali
"Kalau bicara jalan tol memang harus komprehensif, soal 500 hektar itu kalau memang lahan pertanian dan perkebunan itu mestilah ada dampaknya," katanya saat dikonfirmasi, Kamis 11 Maret 2021.
Hanya saja, ia menyebutkan bahwa proyek jalan tol yang berasal dari pemerintah pusat tersebut merupakan bagian dari penunjang infrastruktur dan ekonomi di Bali.
"Terkait lahan alih fungsi pasti terjadi, kita tidak bicara dua atau lima tahun ke depan, tapi bicara jangka panjang," paparnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan jalan tol tersebut tidak serta-merta memiliki dampak negatif.
Bahkan, pihaknya melihat pembangunan jalan tol tersebut justru akan membuat Jembrana menjadi daerah sasaran industri baru bagi para investor.
Apalagi, saat ini kawasan Bali Selatan dan Timur menurutnya sudah terlampau padat, dan selama ini pembangunan yang tidak merata dan terfokus di Bali Selatan saja.
Dengan pembangunan kawasan industri baru nantinya bakal menyerap tenaga kerja baru di Gumi Makepung tersebut.
"Positifnya adalah Jembrana akan membuka perluasan industri dan akan membuka investor-investor manakala Bali Selatan dan Timur sudah padat, maka pengalihan industri itu akan lari ke Bali Barat yang akan menimbulkan lapangan kerja baru di masyarakat," terangnya.
Saat disinggung adanya kekhawatiran matinya UMKM seperti warung makan, bengkel di sepanjang jalan raya Denpasar-Gilimanuk akibat pembangunan jalan tol tersebut, ia mengaku tidak terlalu mengkhawatirkannya.
"Itu pun kemarin jadi pertimbangan, artinya ekonomi UMKM kecil yang biasanya dilintasi pasti terdampak, tapi kalau bicara sektor ke depan.
Baca juga: Soal Rencana Hengkangnya Kapal Kargo dari Pelabuhan Benoa, Para Eksportir Mesadu ke DPRD Bali
Cuma kalau industri tumbuh saya yakin akan hidup kembali," ucapnya.
Oleh sebab itu, pihaknya mendorong agar pemerintah pusat dan daerah lebih mengintensifkan kembali dialog dan sosialisasi kepada masyarakat terkait proyek tersebut.
"Kalau ada penolakan ya harus diberikan penjelasan. Kalau dipandang perlu duduk bersama pemerintah dengan masyarakat bagaimana menyikapi ini. Kalau dampak ekonomi untuk PAD kita, bagaimana pariwisata tumbuh, industri tumbuh kan bagus," ungkap dia.
Seperti diberitakan Tribun Bali sebelumnya, sejumlah kekhawatiran masih mengemuka di beberapa pihak.
Beberapa waktu lalu, masyarakat khawatir menyangkut status tanah dimana ganti rugi harus ada SHM.
Sedangkan banyak warga yang tanahnya yang belum bersertifikat.
Dalam dengar pendapat antar tokoh adat dan sejumlah instansi pun mengemukakan kekhawatiran tersebut.
Terutama menyangkut dampak pembangunan tol.
Salah satunya, menyangkut kelestarian hayati terutama di kawasan hutan.
Hal ini disampaikan, Kepala Balai TNBB, drh. Agus Ngurah Krisna, bahwa hingga kini pihaknya belum mendapatkan surat resmi terkait kawasan TNBB yang digunakan tersebut.
Baca juga: Dukung Penanganan Pandemi Covid-19, DPRD Bali Sepakat Pangkas Hibah Rp 500 Juta
Berdasarkan analisa awal, ada sejumlah dampak yang harus diminimalisir.
Sebab, Tol ini akan dibangun juga melintasi sejumlah kawasan hutan termasuk Kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
“Dari pemrakarsa juga menyebut ada perubahan bentang alam, penurunan keanekaragaman hayati, pasti itu dampak-dampak normatifnya” ucapnya.
Karena itu, sambungnya, Tim Amdal harus mengkaji dampak detailnya.
Untuk mengurangi dampak lingkungan berkaitan Amdal, pihaknya meminta agar ruas jalan tol yang melalui kawasan hutan termasuk TNBB agar dibuat jalan laying dan juga dibangun koridor satwa.
Bahkan, pemrakarsa juga harus mengajukan permohonan ke Kementerian KLHK.
“Dalam hal ini juga penlok (penetapan lokasi) juga belum ada,” tegasnya.
Sementara itu. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jembrana, I Wayan Sudiarta mengaku, bahwa kini pihaknya mengidentifkasi permasalahan dampak yang ditimbulkan.
Kemudian, menginvetarisir saran, pendapat dan tanggapan masyarakat, dalam hal ini masyarakat terdampak langsung.
“Saat ini masih pra konstruksi. Ada beberapa masukan yang sudah masuk.
Masukannya antara lain, terkait jaringan pipa air minum swadaya yang crossing jalan tol, permukimawan warga yang harus difasilitasi akses masuk dan tempat suci serta jalan untuk pemelastian diminta jadi prioritas, usulannya jalan tolnya di bawah (under pass), jalan eksisting yang melayang,” paparnya.
Ia menambahkan, bahwa untuk keluhan masyarakat didominasi dengan pembebasan lahan.
Sebab, penlok belum final, dan masih dalam verifikasi di provinsi.
Sehingga, belum bisa diketahui yang mana akan terkena dampak langsung. (*)