Serba serbi

Ngereh dan Kerauhan, Mengapa Penting Dilakukan Dalam Hindu di Bali

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Beberapa barong sesuhunan Desa Pakraman Mas, Ubud, Gianyar.

Lalu menjadi Tri Aksara, Dwi Aksara dan akhirnya menjadi Eka Aksara. Lalu kaitan dengan ngereh sendiri, adalah bertujuan menghidupkan kekuatan Isra Dewata atau lingga beliau yang sesuai dengan fungsinya. 

Khususnya menghidupkan benda-benda yang dibuat oleh manusia. "Sehingga kemudian patapakan tersebut yang disungsung oleh masyarakatnya, disucikan dan dijadikan panutan untuk melindungi masyarakat di suatu wilayah," jelasnya. 

Ngereh yang dilakukan di setra atau kuburan pada tengah malam, dalam suasana hening dan tenang. Juga memberikan tantangan tersendiri, khususnya bagi pakudan atau pamundut (orang yang akan memakai atau menarikan patapakan).

Dosen bernama asli Komang Indra Wirawan ini, menjelaskan bahwa dibutuhkan hati dan raga yang bersih agar beliau mau berstana dan dipundut oleh si pakudan. 

Setelah proses ngereh dianggap berhasil, maka muncul ciri apapun yang secara gaib dan mistis memang di luar akal sehat. Seperti terkadang ada muncul api, cahaya, dan lain sebagainya. Sebagai tanda kehadiran beliau, atas anugerah Dewi Durga yang berstana di Pura Dalem. 

"Namun jangan langsung dilepas begitu ada yang kerauhan, harus ditanyakan dahulu siapa yang hadir di sana. Sebelum itu pemangku harus menghaturkan banten terlebih dahulu," tegasnya. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kecelakaan, atau hal yang tidak diinginkan tatkala terjadi kerauhan. 

Apalagi belakangan banyak fenomena kecelakaan saat kerauhan, seperti tertusuk keris dan sebagainya sampai meninggal dunia. "Nah setelah dihaturkan banten, lalu beliau sudah menyebutkan nama beliau melalui pakudan. Baru boleh dilepas," ujarnya. 

Tatkala itu, percaya tidak percaya kekuatan super akan terlihat. Bahkan tak jarang, patapakan ida bhatara berupa barong atau rangda berlari cukup jauh, tanpa alas kaki. Anehnya lagi terkadang yang mundut adalah pemangku atau pakudan lingsir (tua). Yang rasanya tidak mungkin bisa berlari jauh dengan beban berat dibadannya. 

Komang Gases mengingatkan, jangan pernah bermain-main dengan hal sakral di Bali. Khususnya saat proses ngereh atau kerauhan ini. Sebab berpotensi kecelakaan bagi yang tidak paham. Mengingat dalam prosesi itu, ada yang menusuk keris dan sebagainya. Untuk itu, penjagaan dari prajuru adat sangat penting dilakukan. 

Seperti saat ada yang kerauhan, jangan dibiarkan liar harus dijaga. "Kerauhan pun ada tempatnya, tidak disembarang tempat," tegasnya. Apabila seseorang nampak seperti kerauhan tetapi tidak diarea suci, semisal di warung kopi dan sebagainya maka bisa dikatakan orang tersebut kerangsukan atau kesurupan.

"Seperti misal di sekolah ada anak yang tiba-tiba teriak tanpa sadar, atau setengah pingsan. Bisa jadi dia kesurupan dan itu bermain ditataran psikisnya dia," jelasnya. Sementara kerangsukan juga kadang terjadi karena orang memasukkan sesuatu dalam tubuhnya. Seperti susuk dan lain sebagainya, untuk menambah kecantikan atau kekuatan dirinya. 

"Namun hati-hati barang yang dipasupati dimasukkan ke dalam tubuh, lambat laun akan memengaruhi tubuh kita. Kalau tidak kuat maka ini akan menguasai tubuh kita," tegasnya. Bahkan hal seperti itu pula, bisa menjadi kekuatan negatif atau yang dikenal dengan istilah pangleakan pangiwa di Bali. 

Untuk itu, lebih dalam kesulitan apapun tetap berserah diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta manifestasi beliau. Komang Gases juga mengingatkan, agar pakudan atau pamundut ida bhatara tidak jumawa. Tidak menepuk dada dan merasa dirinya hebat. Harus tetap rendah hati, apalagi yang disungsung adalah hal suci dan sakral. 

Kerauhan pun demikian, harus tetap dijaga agar tidak terjadi kecelakaan. Namun apabila di suatu wilayah, memang tidak pernah dan jarang ada proses kerauhan dalam upacara agama. "Maka hal itu (kerauhan) jangan dipaksakan," ujar pria asli Sesetan, Denpasar ini. 

Mengapa demikian? sebab kerauhan adalah prosesi suci yang menjadi bukti kedatangan beliau. Kerauhan pula menjadi sugesti bagi umat, bahwa upacara yadnya yang telah dilakukan berjalan lancar dan tuntas. "Namun jika suatu wilayah tidak ada sima atau dresta kerauhan ya jangan dipaksa," katanya.

Halaman
123

Berita Terkini