Penggunaan kode-kode atau simbol tertentu dalam fashion berpotensi memunculkan definisi tentang apa yang dianggap keren dan tidak keren.
"Apa yang bagus dan tidak bagus, serta apa yang dianggap kekinian dan tidak kekinian di kalangan anak muda," jelasnya.
Lanjutnya, mereka yang dianggap tidak keren, tidak bagus, atau tidak kekinian bisa tereksklusi atau tersisihkan dari dunia pergaulan.
"Karena memang salah satu akibat dari fashion adalah menciptakan “struktur sosial semu” dalam dunia pergaulan," katanya.
Ketiga, konsumerisme, yakni ketika muda-mudi ini menghabiskan lebih banyak uang untuk penampilan daripada untuk hal-hal lain yang lebih produktif, semisal untuk pendidikan mereka, apalagi jika mereka sampai harus berhutang atau mengajukan kredit agar bisa berpenampilan seperti yang mereka inginkan.
"Idealnya, Citayam Fashion Week tak hanya sekadar menjadi ajang mempertontonkan atau menukarkan berbagai kode dan simbol di kalangan anak muda, tetapi juga bisa memupuk modal sosial di antara mereka," ujar Wahyu.
Modal sosial ini, kata dia, jika dikelola dengan baik, bisa disalurkan untuk hal-hal produktif, misalnya membuat proyek bersama yang berkaitan dengan media sosial.
Sehingga bisa memperoleh pemasukan dari media sosial, atau bisa juga dengan mengajukan proposal ke pihak-pihak tertentu guna menggelar kegiatan kepemudaan yang positif dan masih berkaitan dengan fashion.
Tak menutup kemungkinan pula, kegiatan ini menjelma menjadi festival mingguan dan menjadi sarana merintis kewirausahaan muda di kalangan muda-mudi.
Di sisi lain, festival ini juga bisa merangsang kegiatan ekonomi masyarakat sekitar, terlebih jika Citayam Fashion Week menjadi tujuan wisata baru bagi masyarakat luas.
"Tepatnya wisata fashion. Jika bisa demikian, maka tugas pemerintah setempat tinggal memfasilitasinya," pungkasnya. (*).
Kumpulan Artikel Bali