TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Tradisi Mekotek kembali digelar Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi pada Sabtu 14 Januari 2023 kemarin. Tradisi ngerebeg atau yang lebih dikenal sebagai makotek itu pun dilaksanakan berbeda jika dibandingkan saat pandemi covid-19.
Hal itu pun dilihat dari jumlah peserta yang ikut, yang melibatkan kurang lebih 4 ribu krama desa adat dari 12 banjar yang ada. Berbeda saat pandemi covid-19, yang jumlah pesertanya dibatasi.
Hanya saja prosesi tradisi yang digelar bertepatan dengan Hari Raya Kuningan itu pun tidak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Pada saat menggelar tradisi makotek, ribuan masyarakat pun melakukan persiapan sejak pukul 12.00 wita. Ritual makotek diawali dengan penyiapan kayu pulet, dan ujungnya dihiasi daun pandan serta tamiang.
Kemudian dilanjutkan dengan menyucikan dan nedunang Tamiang Kolem yang diistanakan di Pura Puseh, Desa Adat Munggu. Setelah itu, kayu tersebut ditunas atau diambil kembali dan baru lah krama Desa Adat Mengwi menggelar makotek.
Untuk diketahui, Mekotek merupakan simbol kemenangan, selain itu upacara ini juga sebagai upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun yang lalu.
Pada mulanya, Mekotek dilakukan untuk menyambut prajurit Kerajaan Mengwi yang menang saat melawan Kerajaan Blambangan di Jawa.
Pada masa pemerintahan Belanda tahun 1915, Mekotek pernah dihentikan. Sebab, Belanda khawatir kalau terjadi pemberontakan. Pasalnya, tradisi Mekotel melibatkan banyak orang dengan membawa besi maupun kayu.
Suatu ketika terjadi wabah penyakit, tradisi Mekotek yang sempat dihentikan dilakukan kembali dengan tujuan sebagai tolak bala.
Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana mengatakan, pelaksanaan tradisi makotek saat ini memang memiliki perbedaan seperti di pandemi Covid-19. Diakui pada pelaksanaan tradisi kali ini, tidak ada lagi pembatasan dalam melaksanakan makotek.
"Karena tidak ada pembatasan, sehingga seluruh krama desa adat dapat mengikuti tradisi ini," katanya.
Diakui tradisi yang dipercaya sudah ada sebelum penjajahan Belanda itu pun melibatkan semua krama yang ada di 12 banjar adat, dengan jumlah KK 1.138.
"Anggap saja 1 KK 4 orang datang. kalau dikalikan dengan empat karena tradisi makotek ini adalah wajib untuk seluruh krama desa adat, jumlahnya kurang lebih ada 4 ribu orang yang datang. Belum warga lain yang menyaksikan," ujar Rai Sujana.
Menurutnya, berdasarkan cerita dari pengelingsir di Munggu, tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.700 masehi. Pada masa kejayaan Kerajaan Mengwi, wilayah kekuasanaannya sampai ke Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Mendengar wiliayah kekuasaan tersebut ingin direbut, Pasukan Taruna Munggu.
"Sebelum berangkat, tepatnya di hari Tumpek Kuningan, Pasukan Taruna Munggu melaksanakan semedi Pura Dalem Khayangan Wisesa," ungkapnya.
Singkat cerita, pihaknya menerangkan, Pasukan Taruna Munggu berhasil mempertahankan wilayah kekuasaan Raja Mengwi di Blambangan. Mulai saat itu pelaksanaan tradisi makotek untuk memperingati kemenangan dan menghormati jasa-jasa pasukan yang telah gugur di medan perang.
"Tetapi tradisi makotek di masa penjajahan sempat dilarang oleh Belanda. Kita dikiranya akan melakukan pemberontakan, karena saat itu menggunakan tombak," terangnya.
Namun setelah beberapa kali tidak digelar, lanjutnya, terjadilah wabah penyakit di Desa Adat Munggu. Dari kejadian tersebut banyak masyarakat yang meninggal. Sehingga para tokoh agama dan adat melakukan negosiasi dengan penjajah.
Akhirnya tradisi makotek kembali diizinkan dilaksanakan, namun menggunakan kayu pulet sebagai pengganti tombak.
"Mulai saat itu, tradisi makotek dipercaya sebagai penolak bala, atau pengusir roh-roh jahat atau yang namanya bhuta kala. Dengan keyakinan itu, sampai sekarang dilaksanakakndi di Desa Adat Munggu," imbuhnya. (*)