Berita Bali

Tim Hukum Unud Bantah Kerugian Negara, Lanjutan Sidang Praperadilan Rektor Dalam Kasus SPI

Penulis: Putu Candra
Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sidang praperadilan Rektor Unud, Prof Antara melawan Kejati Bali kembali digelar di PN Denpasar.

TRIBUN-BALI.COM - Sidang praperadilan Rektor Universitas Udayana (Unud), Prof DR Ir I Nyoman Gde Antara MEng, selaku Pemohon melawan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali sebagai Termohon kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Rabu (26/4).

Sidang kali ini mengagendakan pembacaan tanggapan (replik), oleh tim kuasa hukum Unud atas jawaban Termohon.

Diketahui, Prof Antara menempuh upaya hukum praperadilan terkait penetapan tersangka oleh penyidik pidana khusus (pidsus) Kejati Bali.

Prof Antara ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi penyalahgunaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru (maba) seleksi jalur mandiri Unud tahun 2018-2022.

Baca juga: Diprediksi 20 Ribu Lebih Penumpang Domestik Hari Ini Tinggalkan Bali Melalui Bandara Ngurah Rai

Baca juga: Budi Gunawan Terlibat Pencurian Kayu, Begini Kronologinya Kata Polsek Kerambitan Tabanan

Sidang praperadilan Rektor Unud, Prof Antara melawan Kejati Bali kembali digelar di PN Denpasar. (Tribun Bali/Putu Candra)

Sementara itu, dalam replik setebal 28 halaman, tim hukum Unud yang dimotori Nyoman Sukandia, Gede Pasek Suardika membantah semua jawaban Termohon yang telah dibacakan dalam sidang sebelumnya, di antaranya terkait bukti kerugian keuangan negara.

"Kami menegaskan lagi bahwa jawaban yang disampaikan oleh Termohon pada sidang sebelumnya itu kami bantah dengan sangat presisi. Terutama dalam kasus korupsi yang paling penting adalah bukti adanya kerugian keuangan negara. Sampai sekarang itu tidak muncul.

Bagaimana bukti yang paling penting itu tidak muncul dengan alasan itu kewenangan yang bersangkutan (Termohon)," tegas Gede Pasek Suardika ditemui seusai sidang praperadilan.

Pula soal kewenangan dibantah tim hukum Unud. Dikatakan Pasek Suardika, dalam kasus korupsi harus muncul bukti kerugian keuangan negara. Di mana lembaga yang berwenang dalam melakukan audit kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP.

"Tadi juga kami bantah soal kewenangan itu. Karena kejaksaan esensinya sebagai penyidik sudah ada di KUHP. Di Undang-undang Kejaksaan juga tidak ada satu pun kewenangan untuk melakukan audit terhadap kerugian negara. Justru yang ada kewenangan di BPK dan BPKP," ujarnya.

Pihaknya pun berharap dalam duplik Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan dibacakan, Kamis (27/4), di persidangan muncul kerugian keuangan negara berdasarkan audit dari BPK atau BPKP. Bukan berdasarkan audit internal kejaksaan.

Rektor Unud, Prof Antara didampingi tim kuasa hukumnya, Gede Pasek Suardika dkk saat menjalani pemeriksaan di Kejati Bali. (Tribun Bali/Putu Candra)

"Karena kita berkutat di kasus korupsi. Tidak akan pernah ada korupsi kalau tidak ada kerugian keuangan negara. Sampai sekarang bukti itu tidak muncul. Di dalam jawaban jaksa pun tidak muncul," ucap advokat, politikus sekaligus Ketua Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) ini.

Kembali disinggung soal audit iternal kejaksaan yang digunakan dalam kasus SPI, pria yang disapa GPS ini kembali menegaskan, lembaga yang berwenang melakukan audit adalah BPK atau BPKP dan itu telah diatur dalam konstitusi.

"Terus bagaimana BPK dan BPKP yang diatur dalam konstitusi lalu dikalahkan oleh audit internal versi kejaksaan. Kalau sampai terjadi, itu akan menjadikan negara kita ini negara kekuasaan. Itu sangat berbahaya," cetusnya.

"Akan beda hasilnya kalau BPK atau BPKP menyatakan ada kerugian negara, lalu mereka (Termohon) juga melakukan audit internal. Jadi seimbang. Tapi kalau ini kan tidak," sambung Pasek Suardika. Pasek Suardika menyebutkan, hasil audit terhadap Unud telah dilakukan oleh lembaga eksternal, BPKP dan BPK. Hasilnya, tidak ada masalah.

"Lalu tiba-tiba Kejaksaan membuat aturan sendiri. Itu melanggar KUHP pasal 1 ayat (2) angka 2. Di mana penyidikan sudah jelas menyebutkan bahwa kewenangan adalah mencari dan mengumpulkan alat bukti. Bukan membuat alat bukti. Sangat berbahaya apabila kejaksaan, kepolisian diberikan kewenangan membuat alat bukti. Itu akan terjadi kesewenang-wenangan," katanya.

"Kalau besok di jawaban jaksa tidak muncul lagi kerugian keuangan negara dari lembaga berwenang, saya kira biar tidak ribut-ribut sudah dihentikan saja kasusnya. Atau digelar perkara ulang, kami siap," kata Pasek Suardika. (*)

Berita Terkini