TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Para pengusaha spa di Bali mengaku kaget atas naiknya pajak spa sebesar 40-75 persen.
Hal tersebut berdasarkan pasal 58 UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Khusus tarif PBJT (Pajak Barang Jasa Tertentu) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O persen dan paling tinggi 75 persen.
Baca juga: SPA Dikategorikan Hiburan, Pengusaha Nilai Dapat Buat Image SPA Tidak Baik
Pajak spa juga ikut naik karena spa dinilai merupakan kegiatan kesehatan melalui air dan dimasukkan dalam kategori hiburan.
Menanggapi hal tersebut, Pelaku Usaha SPA Mandara, Ni Ketut Suastari mengatakan sangat disayangkan kalau spa diklasifikasikan sebagai hiburan.
“Bali sangat terkenal di internasional sehingga sangat jelas sebagai salah satu destinasi wellness spa tidak layak dikategorikan sebagai hiburan. Spa menjadi ikon dunia wellness yang harus dilestarikan,” ucap Tari pada acara jumpa pers Bali Bersatu #save Bali SPA di Denpasar, Jumat (12/1/2024).
Baca juga: SPA di Bali Berjumlah 900 Usaha, Pajak SPA dan Tempat Hiburan Naik 40 Persen
Menurutnya, ditetapkan pajak 40 persen akan membuat kegiatan spa menurun bahkan usaha spa bisa gulung tikar.
Selain itu bisa membuat terapis spa memilih bekerja di luar negeri dan UMKM penyalur spa akan terganggu atau terhenti.
Terlebih dimasukkannya spa pada kategori hiburan akan membuat image spa menjadi tidak baik atau tidak benar.
I Ketut Sudatayasa Jaya Winata, Perwakilan Usaha SPA dari Kabupaten Gianyar khususnya Ubud mengatakan, pihaknya menolak keras kenaikan pajak 40-75 persen karena mempengaruhi sektor yang berhubungan dengan spa, seperti laundry dan berbagai usaha lainnya.
Baca juga: Pelaku Usaha Spa di Bali Kaget, Pajak Naik dari 15 Persen Jadi 40 Persen
“Terapis juga akan lari dan tidak mau stay di Bali bekerja, terutama terapis yang sudah profesional karena akan mendapatkan tawaran lebih baik di negara tetangga. Kami berharap pemerintah membatalkan pajak 40-75 persen dan mengeluarkan spa dari kategori hiburan,” ucap Ketut.
Spa di Bali sudah mendunia dan spa bukan hal kecil, namun hal besar dimana sudah banyak mencetak terapis andal dan pengusaha.
Bukan hanya sebagai pekerja, namun juga spa diakui di seluruh dunia. Ia berharap pengambil kebijakan, khususnya yang terkait pajak membatalkan pajak 40 persen.
“Dan saya secara pribadi sangat prihatin kami sebagai pengusaha baru mulai merangkak pelan-pelan dan ada kebijakan seperti ini bagaimana ke depannya, sementara banyak orang menggantungkan hidupnya di sini."
"Spa itu kesehatan fisik meliputi tubuh fisik, tubuh mental, tubuh energi dan spiritual dan di Ubud banyak spa dikombinasikan dengan healing yoga atau meditasi,” bebernya.
Rata-rata SPA profesional yang memiliki kategori para terapisnya dididik berdoa sebelum melayani customer.
“Kami sangat geram karena sesuai dengan penelitian jadi kami mohon untuk pengambil kebijakan dengan sangat tegas. Saya ulang untuk menolak dan batalkan pajak 40-75 persen agar keadilan ada,” katanya.
Pengusaha SPA di Bali membentuk gerakan Bali Bersatu Save Bali SPA untuk menolak naiknya pajak SPA sebesar 40-75 persen.
Ketua Inisiator Bali Bersatu Save Bali SPA, I Gusti Ketut Jayeng Saputra mengatakan gerakan ini untuk menyuarakan suara kebenaran atas apa yang menjadi aktivitas dan definisi SPA itu sendiri.
“Dan secara konstitusional yakni lawyer mengatakan bahwa kita kuat kedepannya. Jadi kami berharap menyuarakan gerakan damai tidak terlalu besar. Kami mendukung apa yang disampaikan Menparekraf,” ucapnya saat jumpa pers, Jumat (12/1/2024).
Dia menjelaskan alasannya jelas karena pertama sesuai dengan KBLI yang digunakan untuk izin di OSS kategori SPA sudah clear masuk di kesehatan dan kebugaran bukan jasa hiburan.
Dari sisi Permenparekraf ini salah kamar. Jadi SPA masuk ke kesehatan bukan hiburan.
“Kami yakin akan terwujud karena gerakan kami asas kebenaran dan keadilan. Jadi apa yang akan dilakukan nanti kami harus duduk dengan teman-teman dan pemangku kebijakan lainnya. Kami akan bergerak dengan jalur politik dan ajak stakeholder yang ada. Kami percaya ini akan disetujui. Sesuai dengan Perda Pajak 40 persen mulai 1 Januari dan dibayarkan 1 Februari 2024,” imbuhnya.
Fakta di lapangan mengatakan, memang ditemukan spa yang bersifat hiburan dan semua pasti melihat bagaimana aktivitas karena sama seperti kafe yang ada di Ubud, bar yang ada di Ubud berbeda aktivitasnya dengan yang kafe dan bar yang ada di luar. Begitu juga dengan spa.
“Spa dimasukkan ke kategori hiburan dan dikenakan pajak 40-75 persen untuk meminimalisir terjadinya penyebaran usaha jasa pelayanan hiburan yang tidak berasaskan budaya kearifan lokal dan religius. Kalau di Bali, jumlahnya lebih banyak spa wellness dan kesehatan dibandingkan spa hiburan,” katanya.
Pemerintah Tak Diuntungkan
KUASA Hukum Bali Bersatu Save Bali SPA, Mohammad Ahmadi mengatakan, dimasuKkannya spa ke kategori hiburan tak akan membuat pemerintah mendapatkan keuntungan.
“Dengan pengenaan pajak yang sangat tinggi ini karena SPA dikategorikan hiburan sebenarnya tidak menguntungkan pemerintah. Karena kita ini habis Pandemi Covid-19 kemudian pengusaha SPA baru bangkit kemudian kena pajak 40 persen atau lebih 75 persen,” ucapnya di Denpasar, Jumat (12/1/2024).
Dia mengatakan, sudah menempuh jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi. Namun disamping itu ia mengimbau kepada Presiden untuk mengeluarkan Perpu pengganti UU yang mengeluarkan spa dari hiburan dan mengembalikan SPA domainnya di kesehatan dan kebugaran.
“Ini adalah kekeliruan yang sangat fatal yang dikeluarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 yang mungkin pemerintah dalam hal ini Kemenkeu bernafsu mencari pendapatan menaikkan pendapatan nasional maupun PAD di daerah-daerah,” tandasnya.
Lawyer atau Kuasa Hukum Bali Bersatu Save Bali SPA, Mohammad Hidayat mengatakan, hingga kini pihaknya masih menunggu panggilan untuk sidang dengan MK.
“Kami berharap pemda bisa menunda untuk pemberlakuan pajak ini 40 persen karena masalahnya masuknya SPA di kategori hiburan kami minta ke MK agar SPA dikembalikan kesehatan,” ucap Hidayat.
Sementara secara politis ia berharap pemangku kebijakan menunda pemberlakuan ini apakah itu di pusat atau daerah dan masuknya SPA ke daerah sangat memukul industri SPA setelah pandemi Covid-19. (*)