Human Interest Story

Kisah Ali Yasmin, Korban Penipuan, Ditahan di Australia, Rasakan Pahit yang Tak Mesti Dirasakan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PENYINTAS - Ali Yasmin, penyintas ketidakadilan di penjara orang dewasa Australia memenangkan gugatan class action, saat ditemui di Badung, Bali, Jumat 19 Januari 2024.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ali Yasmin, anak Indonesia pernah 2 tahun lebih ditahan di penjara dewasa Australia, buka suara mengenai pengalamannya mendekam di balik pengapnya jeruji Penjara Hakea yang tak semestinya ia rasakan.

Ia akhirnya berhasil menang dalam gugatan class action dengan bantuan berbagai pihak di Australia yang menaruh perhatian.

Pria asal Lembata, Nusa Tenggara Timur ini ditahan secara tidak adil oleh pihak berwenang Australia saat memasuki perairan Australia dengan perahu yang membawa pencari suaka imigran gelap Afganistan.

Ia yang saat itu masih anak-anak, sejatinya ia korban penipuan tenaga kerja sebagai anak buah kapal (ABK), dan tidak tahu menahu tujuan nakhoda kapal ternyata mengarah ke Australia saat itu dari Pelabuhan Muara Angke Jakarta yang mengangkut puluhan imigran gelap Afghanistan.

Baca juga: Kisah Wayan Budiasa, Tertatih-Tatih Menjalani Kehidupan, Anak Putus Sekolah, Istri Sempat Depresi

Yasmin ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa, padahal seharusnya anak-anak dikembalikan ke negara asal.

"Saat itu, ada pria asal Sulawesi saya sebut Daeng, menawari saya pekerjaan mengantar barang ke pulau-pulau, dijanjikan bayaran Rp 15 juta. Saya hanya tahu itu, dan saat itu berada di perairan Australia. Saya juga tidak tahu itu masuk Australia. Saya ditangkap dan ditahan di penjara orang dewasa. Banyak anak-anak di daerah ditipu mengalami seperti saya. Mereka sengaja mencari orang-orang di daerah. Saya hanya ingin bekerja membantu mama karena bapak sudah meninggal," ujar Yasmin saat dijumpai Tribun Bali, di Badung, Jumat 19 Januari 2024.

Yasmin adalah salah satu dari banyak anak Indonesia yang dituntut oleh pihak berwenang Australia setelah mereka dianggap dewasa dengan menggunakan metode rontgen pergelangan tangan untuk memprediksi usia kronologis mereka.

Yasmin didiagnosis berusia 19 tahun dengan metode itu dan ditahan, karena hukum di Australia orang ditahan di penjara adalah 18 tahun ke atas, sehingga Yasmin langsung ditahan.

Padahal usai sebenarnya adalah 14 tahun saat itu sekitar tahun 2010. Yasmin lahir pada 12 Oktober 1996.

"Belakangan metode ini sudah tidak digunakan karena dianggap tidak tepat. Setelah kasus ini prosedur itu dianggap salah," ungkap Pengacara dari Ken Cush and Partner, Sam Tierney, didampingi Pemerhati Keadilan ‘Justice of the Peace’ di Australia Colin Singer, Administrator ditunjuk oleh Pengadilan Federal Australia Mark Barrow, Executive General Manager of Australian Unity Trustees Kirstin Follows dan Kepala Partnerships of Australian Unity Trustees Sally Fenemor, serta dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana, Kepala hubungan dan penerjemah, Dominikus Kopong Toni Aman SE MM.

Meski masih anak-anak dan memiliki akta kelahiran, Polisi Federal Australia tetap mendakwa dia menggunakan tanggal lahir palsu di pengadilan untuk orang dewasa pada Maret 2010.

Polisi Indonesia mengirimkan salinan sah akta kelahiran Ali Yasmin ke Polisi Federal Australia, padahal Ali Yasmin berusia 14 tahun pada Desember 2010 ketika ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara sebagai orang dewasa.

Ali Yasmin menghabiskan 781 hari di dalam penjara Hakea di Perth Australia dengan keamanan maksimum bersama penjahat-penjahat.

"Itu tempat yang buruk untuk anak-anak. Terdapat pembunuh, pemerkosa, paedofil, punya masalah mental, pengguna narkoba dan penjahat lain Australia bagian barat, dan Yasmin adalah anak-anak. Saya tahu secara emosional pasti terdampak," bebernya.

Meskipun dengan besarnya jumlah kompensasi yang akhirnya diberikan, Pemerintah Australia hingga saat ini belum mengakui bertanggungjawab karena telah memenjarakan anak-anak Indonesia di penjara dewasa.

"Anda dapat mengambil kesimpulan sendiri mengenai apakah Pemerintah Australia salah secara moral bersalah karena telah melakukan hal tersebut," tuturnya.

Perdana Menteri saat itu, Julia Gillard, mengatakan, tidak ada satupun anak Indonesia yang ditahan di penjara dewasa di Australia.

Pernyataan itu kemudian dibantah Pengacara Senior di Ken Cush and Associates, Caitlin O'Brien yang membantu memperjuangkan nasib anak Indonesia bersama Komisi Hak Asasi Manusia Australia, karena praktis tidak ada uluran tangan serius dari Pemerintah Republik Indonesia saat itu, meski pihaknya mencoba menjalin komunikasi.

"Kami sudah mendekati pemerintah Menteri, Komnas HAM, tidak ada satu pun yang tertarik untuk membantu. Mungkin mereka hanya melihat Yasmin hanya anak nelayan di bawah garis kemiskinan," jelas Caitlin.

Pada 17 Mei 2012 Jaksa Agung Australia mengumumkan pembebasan WNI dari penjara. Sehingga pada 18 Mei 2012, Ali Yasmin bisa pulang ke Indonesia. Pada 2017, Pengadilan Banding di negara bagian Australia Barat merasa yakin bahwa telah terjadi kegagalan dalam mencapai keadilan (miscarriage of justice).

Keputusan tersebut membatalkan hukuman tersebut dan seluruh hakim dengan suara bulat menyetujui bahwa Ali Yasmin harus dibebaskan.

"Sejak hukuman Yasmin dibatalkan, kami telah membatalkan 7 hukuman lagi untuk anak laki-laki Indonesia lain yang berasal dari Pulau Alor, Rote dan Wakatobi. Dalam semua kasus di atas ditemukan bahwa semuanya masih merupakan anak-anak dan telah terjadi ketidakadilan terhadap mereka," ujarnya.

Pada 2018, Yasmin memulai gugatan kelompok (class action) untuk kompensasi atas dirinya sendiri, dan atas nama anak-anak Indonesia lainnya, yang sebagian besar berasal dari desa nelayan yang dicegat dan ditahan oleh pemerintah Australia.

Pada 22 Desember 2023, Pengadilan Federal Australia memutuskan untuk memberikan uang 27,5 juta dolar Australia atau setara Rp 270 miliar sebagai kompensasi bagi anak-anak Indonesia yang ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa.

Pengadilan melihat jumlah uang tersebut sebagai jumlah yang adil dan layak untuk diberikan kepada anggota class action.

Pengadilan menunjuk Mark Barrow dari Ken Cush and Associates, untuk mengelola skema distribusi kompensasi tersebut kepada anggota kelompok class action dalam kurun waktu 12 bulan.

Pengelola dana Kompensasi (Administrator) Mr Barrow, penerjemah Toni Kopong bersama timnya telah mengunjungi Kupang, Pulau Rote dan Alor dalam tiga bulan terakhir untuk memproses kompensasi para anggota kelompok.

Ken Cush and Associates saat ini mewakili lebih dari 100 anggota grup dan telah bertemu dengan 80 anggota grup dari seluruh Indonesia.

"Estimasi jumlah anggota kelompok menurut Pengadilan Federal Australia adalah 240 orang," beber Mark.

Berkas Komisi Hak Asasi Australia dan Pengadilan Federal Australia, setelah 10 tahun Ali Yasmin mendapatkan kompensasi class action (gugatan kelompok) 27,5 juta AUD di Pengadilan Federal Australia untuk anak-anak Indonesia atau setara Rp 270 miliar.

"Kompensasi sesuai situasi dan kondisi masing-masing anak oleh waktu dimana mereka di Imigrasi maupun di dalam penjara. Saya ditunjuk bekerja dan datang ke Indonesia memproses kompensasi untuk keluarga," tuturnya.

Pemerhati Keadilan ‘Justice of the Peace’ di Australia Colin Singer, mengemukakan, perjuangan ini bermula saat ia berkunjung sebagai pengunjung independen pemerhati keadilan di penjara tersebut.

"Saya melihat masalah besar. Saya mengunjungi pusat kesehatan ada data anak anak Indonesia. Saya dibawa ke blok anak-anak Indonesia ditempatkan. Kondisinya memprihatinkan sel yang seharusnya digunakan 1 orang ini untuk 3 orang sampai ada yang kepalanya dekat closet. Tidak ada perlengkapan ibadah untuk mereka, penanganan kesehatan buruk," paparnya.

Yasmin saat itu tidak punya kesempatan untuk turun atau pulang, dia menjadi korban traffic imigran gelap hingga pada akhirnya dibebaskan saat usia 16 tahun.

Ia menduga secara sistematis dibuat untuk memenjarakan anak-anak Indonesia agar jera.

"Kami tahu anak Yasmin korban eksploitasi penyelundup manusia. Saat itu dia berada di masjid untuk membantu pekerjaan oleh seorang yang dianggap paman dijanjikan uang besar, mengantar barang di pulau-pulau Indonesia," bebernya.

Pemerintah Australia tidak menyatakan atau mengungkapkan permintaan maaf langsung kepada Indonesia maupun anak-anak para korban ini, namun memberikan 27,5 juta dolar Australia untuk korban salah tangkap.

"Australia hanya merasakan dengan membayar uang. Secara resmi tidak ada permintaan maaf ke Yasmin. Ada perlawanan sengit Pemerintah Australia. Akhirnya mereka setuju bayar uang kompensasi. Karena proses kompensasi akan berlangsung selama 12 bulan, maka setiap anggota kelompok class action harus menghubungi Pengurus untuk mendapatkan bantuan," ujar dia. (adrian amurwonegoro)

Kumpulan Artikel Bali

Berita Terkini