TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Budayawan, sastrawan dan pemain teater Bali, Cokorda Sawitri atau yang lebih dikenal dengan Cok Sawitri berpulang, Kamis, 4 April 2024.
Ia baru diketahui meninggal dunia pada pukul 07.00 Wita oleh keponakannya di kediamannya di Denpasar.
Sehari sebelumnya, Cok Sawitri diketahui masih sehat dan melakukan perjalanan dari Budakeling ke Denpasar seusai latihan sebuah garapan.
Baca juga: Sosok Cok Sawitri Semasa Hidup, Bergelut dengan Teater dan Berkesenian Sejak Kecil
Sahabat yang kerap diajak berdiskusi, I Wayan Redika menuturkan, Cok Sawitri kini tengah konsen untuk sebuah proyek bersama Sanggar Maha Bajra Sandhi berupa garapan Gambuh Sutasoma.
“Yang saya tahu pasca ibunya meninggal sebulan lalu, Cok terjun untuk satu proyeknya Dayu Ani berupa Gambuh Sutasoma di Budakeling, dan Cok jadi salah satu koordinator proyek,” kata Wayan Redika.
Menurutnya, Rabu kemarin seusai latihan Cok Sawitri datang ke Denpasar dari Budakeling.
Dan Kamis pagi, karena sampai pukul 07.00 tak bangun, keponakannya mencoba membangunkannya.
Saat dibangunkan, Cok Sawitri pun sudah tak bernapas.
Menurut Redika, Cok Sawitri merupakan teman ngobrol dan berdiskusi berbagai hal dan dikenal cakap.
“Saya cukup intens berdiskusi dengan Cok, dan memang suka bergurau, bercanda juga,” katanya.
Dan selama itu juga, Cok Sawitri tak pernah mengeluhkan tentang sakit.
Bahkan dua hari sebelumnya, Wayan Redika pun sempat video call dengan Cok Sawitri dan berdiskusi seperti sebelum-sebelumnya.
“Saya sampai saat ini masih belum percaya dengan kepergiannya, tapi kembali ini adalah kehendak Tuhan,” tuturnya.
Baca juga: BREAKING NEWS: Bali Berduka, Selamat Jalan Cok Sawitri, Wayan Redika Ungkap Video Call Terakhir
Redika juga mengatakan, dirinya bertatap muka langsung terakhir dengan Cok Sawitri sekitar sebulan lalu.
Untuk diketahui, Cok Sawitri dikenal sebagai seorang pemain teater yang selalu tampil totalitas di atas panggung.
Ia pun telah bergelut dalam dunia teater sejak kecil dan semua itu diawali dari kebiasaan menari Bali, matembang dan kegiatan seni tradisional lainnya.
Cok Sawitri lahir di Sidemen, Karangasem, Bali, 1 September 1968.
Selain bermain teater, ia juga menulis cerita pendek (cerpen), novel, puisi dan menulis esai.
Puisi yang telah diterbitkan, di antaranya; Rainbow, 18 Indonesia Women Poets (2008), Kumpulan Puisi: Nyanyian Kota, 7 Perempuan Penyair Indonesia (CCF, 2006) dan edisi bahasa Perancis, Selendang Pelangi, antologi puisi 17 Perempuan Penyair Indonesia (2006), Teh Ginseng, Kumpulan Puisi bersama Sanggar Minum Kopi Bali (1992), Negeri Bayang-Bayang, Antologi bersama Puisi, Geguritan & Cerpen (1996), Kumpulan Buku Seniman Tua Bali Kabupaten Gianyar (1996), dan 7) Buku Puisi, Setahun Kematian, Semilyar Nyanyianku Mati, Kiamatku Dalam Jarak 3 Centimeter (2013) penerbit Indie.
Karya cerpen Cok Sawitri juga sudah diterbitkan, seperti Cerpen “Mati Sunyi” dalam Sepi pun Menari di Tepi Hari: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004 (2004).
Selanjutnya cerpen “Rahim” dalam Mata Yang Indah: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2001 (2001).
Dirinya juga menerbitkan novel di antaranya Janda dari Jirah, Gramedia Media Utama, tahun 2007 yang telah meraih lima besar Khatulistiwa Award dan telah diterjemahkan The Widow Of Jirah.
Kemudian novel Sutasoma, terbit Juni 2009, dan meraih lima besar Khatulistiwa Award serta penerima Dharmawangsa Award 2010. Tantri, Perempuan yang Bercerita, terbit 2011, Kompas, masuk lima besar Khatulistiwa Award.
Novel Karna- E-book, Penerbit Tantraz Comics tahun 2016. 50 Novel Sitayana- 2019, Gramedia Pustaka Utama. Novel Trilogi Jirah, 2021. Deep Inner Journey, 2021. Di tahun 2022, ia mendapatkan penghargaan Bali Jani Nugraha Tahun 2022 dari Pemerintah Provinsi Bali. (tribun bali/sup)