TRIBUN-BALI.COM - Founder Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Women Crisis Centre (WCC), Ni Nengah Budawati mendukung peraturan tindakan aborsi dapat dilakukan pada korban yang hamil akibat tindakan pemerkosaan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyatakan perempuan dibolehkan melakukan tindakan aborsi untuk beberapa kondisi tertentu. Salah satunya bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual.
Dalam pasal 116 PP Kesehatan itu disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan maupun tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
“Pada prinsipnya orang hamil harus dengan pemikiran juga psikologis yang siap. Sebagai seorang ibu harus siap mempersiapkan segala sesuatunya. Korban pemerkosaan yang sampai hamil pasti sangat tidak siap, terlebih ada ancaman penyakit seksual yang dibawa oleh pelaku,” jelas, Budawati, Kamis (1/8).
Baca juga: Penumpang Bawa Bom Aktif di KA Gajayana, Ditangkap Densus 88 di Stasiun Solo Balapan!
Baca juga: Jokowi: Keamanan Data Penting! Tak Mau Rakyat Jadi Korban Keuangan Digital, Belajar Kasus Peretasan
Korban pemerkosaan yang hamil sangat rentan psikologisnya. Belum lagi penolakan pada anak yang dikandungnya oleh lingkungan sekitar. Budawati juga menjelaskan, sebetulnya PP tersebut disahkan berdasarkan dari catatan-catatan para pendamping hukum dan pemerhati perempuan serta anak di Indonesia.
“Iya kami mendukung karena hasil dari diskusi kita dari seluruh Indonesia. Kalau kami biasanya yang melakukan pendampingan hukumnya, biasanya polisi yang melakukan mekanisme itu," jelasnya.
"Jadi polisi memeriksakan secara cepat apakah korban hamil dari dampak pemerkosaan. Protapnya memang seperti itu juga dibantu oleh Lembaga yang biasanya menangani aborsi aman sesuai UU,” sambung dia.
Terkait hukuman kebiri pada pelaku pemerkosaan, kata Budawati memang masih banyak menimbulkan kontroversi. Terlebih dengan kebiri belum dipastikan benar-benar efektif untuk menimbulkan efek jera pada pelaku.
“Sebab walaupun dikebiri orangnya tapi kalau tidak punya hati dan pikiran kan memang tidak bisa. Yang pasti bisa dilakukan saat ada yang berbuat salah kita hukum," kata Budawati.
"Mau melakukan perbaikan bahkan berkampanye untuk tidak melakukan kekerasan kan itu yang kita harapkan. Memang pemulihan pelaku menjadi titik pentingnya. Bagaimana merehabilitasi pelaku dari kejiwaan agar tak berbuat seperti itu lagi,” tutupnya.
Dua Syarat
Khusus kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual dibolehkan melakukan aborsi jika dibuktikan dengan dua syarat. Syarat pertama, surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dialami. Syarat kedua, keterangan dari penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Adapun tindakan aborsi tidak boleh dilakukan sembarangan. Tertulis dalam pasal 119, pelayanan aborsi yang diperbolehkan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi sumber daya kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Selain itu, pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan dibantu oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Dalam pelayanan aborsi juga diatur bahwa korban perkosaan yang ingin aborsi harus diberikan pendampingan dan konseling, sebelum dan setelah aborsi. Hal itu hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun ahli lainnya, sesuai dengan aturan pada pasal 123.
Selanjutnya pada pasal 124 disebutkan, apabila korban tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lain itu memutuskan untuk batal lakukan aborsi, juga harus mendapatkan pendampingan dan konseling selama masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.(sar)