Berita Bali

Buntut Peras Investor, Bendesa Adat Berawa Divonis 4 Tahun Penjara di Pengadilan Tipikor

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa I Ketut Riana dijatuhi vonis pidana penjara selama 4 tahun.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Terdakwa I Ketut Riana dijatuhi vonis pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta setelah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam kasus dugaan pemerasan atas pengurusan izin investor saat menjabat Bendesa Adat Berawa. 

Keputusan itu dibacakan Majelis Hakim yang diketuai Gede Putra Astawa dalam sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar pada Kamis 3 Oktober 2024. 

Baca juga: Tim Mulia-PAS dan Koster-Giri Lakukan Persetujuan Desain Baliho Kampanye di KPU Bali

"Menjatuhi pidana terhadap terdakwa I Ketut Riana dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta, subsider empat bulan kurungan apabila denda tidak dibayarkan," ucap Majelis Hakim.

Perbuatan Ketut Riana memenuhi unsur melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, dan unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. 

Baca juga: 50 Ucapan Selamat Hari Raya Kuningan dalam Bahasa Bali Disertai Artinya, Bagikan ke Sosmed

Penilaian hakim berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan.


Terdapat bukti percakapan WhatsApp atau keterangan saksi, terdakwa telah terbukti meminta uang kepada saksi Andianto Nahak T Moruk sebesar Rp 10 miliar.


Andianto adalah orang ditugaskan mengurus izin oleh PT Berawa Bali Utama untuk melancarkan pembangunan. 


Permintaan yang dilakukan Ketut Riana tersebut tidak disampaikan ke perangkat desa lainnya atau masyarakat. 


Selain itu, unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu. 


Adapun Ketut Riana melakukan permintaan itu juga secara berulang-ulang sehingga memenuhi unsur perbuatan yang berlanjut. 

 

Meski pledoi dilakukan Penasihat Hukum terdakwa yang menyebut perkara tersebut adalah suap, namun Majelis Hakim menyatakan tidak sependapat. 


"Ada permintaan dengan unsur memaksa yang dilakukan terdakwa berdasarkan bukti percakapan atau chat WhatsApp," ujarnya.


Majelis Hakim pun menilai bahwa unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan tunggal Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor sudah terpenuhi. 


Yakni Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Terdakwa memenuhi unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, menerima insentif dari APBD Badung, dan Pemprov Bali setiap bulannya. 


"Terdakwa sebagai Bendesa Adat Berawa dipilih melalui hasil paruman, hasil paruman diserahkan melalui Majelis Desa Adat (MDA) ke Pemkab Badung, Rekomendasi penerbitan SK pengukuhan sebagai Bendesa Adat diterbitkan oleh MDA," beber dia.


Hanya ada satu unsur yang tidak terpenuhi yakni unsur kerugian negara dalam Pasal 18 UU Tipikor.


Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai hal yang memberatkan dalam putusan perkara ini adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi.


Sedangkan hal-hal yang meringankan berupa terdakwa belum pernah dihukum; dan terdakwa sopan dalam persidangan. 


Adapun putusan Majelis Hakim dengan hukuman pidana 4 tahun penjara ini lebih rendah dua tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Bali yakni enam tahun penjara.


Hakim memberikan waktu satu minggu bagi terdakwa dan penasihat hukumnya untuk menyikapi putusan ini yang masih mempertimbangkan sikapnya. (*)

Berita Terkini