"Jadi tuh sebenernya waktu aku kecil, dibawa sama bapakku ke Bali sama adikku, aku anak pertama makanya namanya Ni Luh, anak perempuan pertama. Nah aku tinggal sama kakek dan nenekku, bapakku balik ke Makassar, kita tinggal di kampung yang ga ada listrik ga ada air, jalanannya itu tanah,"tuturnya.
"Kalau musim hujan aku ga pakai sepatu ke sekolah karena itu akan becek, terus aku harus nyebrang 3 parit bukan, tapi sungai juga bukan, terus udah deket baru aku pakai sepatu," katanya.
Ia mengisahkan saat itu ia harus bekerja membantu kakek dan neneknya karena demi mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Dari situlah Ni Luh Puspa ikut bekerja dan melakukan kegiatan apa pun bersama kakek neneknya demi mendapatkan uang.
Ia pernah menjual tali buatan sang kakek hingga ayam di kampungnya.
Bahkan Ni Luh Puspa sempat jadi tukang pemecah batu.
"Kakekku itu petani, tapi dari hasil pertanian saja tidak cukup, kakekku bikin tali dari bambu dan diolah sampai jadi tali, aku biasa bantuin dia.
Dan kalau kemarau, deket rumah ada sungai, kalo ga ada air, kakekku jadi tukang batu di situ terus musim petik apa kakek nenekku jadi apa, dan aku selalu menemani mereka mengerjakan pekerjaan pekerjaan itu," curhatnya.
Diakuinya, saat itu Puspa kecil tidak punya pilihan.
"Aku ngga punya pilihan, kakek juga punya hewan ternak, aku juga bertugas untuk mencarikan makanan untuk ternaknya
"So keunggulan jadi anak desa, kita ngga terpikirkan untuk main ke Mall, atau pergi ke taman bermain, aku jadikan area tempat kerjaku jadi tempat main," ujarnya.
Kesedihan dialami saat Ni Luh Puspa duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Setelah kedua orangtuanya memutuskan bercerai alias berpisah.
"Hal itu jadi titik balik waktu mereka pisah aku sempat membenci mereka, kalau mereka ngga egois mikirkan diri mereka sendiri, aku bisa main sama temenku, atau aku masih bisa menikmati masa kecilku,"ujarnya.
Dalam ingatan pahitnya, Ni Luh Puspa membeberkan momen di mana ibu kandung pergi dari rumah.