TRIBUN-BALI.COM - Rupiah di pasar spot kembali melemah hingga akhir perdagangan pada Jumat (25/7). Rupiah ditutup di level Rp 16.320 per dolar Amerika Serikat (AS). Ini membuat rupiah melemah 0,15 persen dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di Rp 16.297 per dolar AS.
Sementara, indeks dolar yang mencerminkan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama dunia ada di 97,55, naik dari sehari sebelumnya yang ada di 97,37. Adapun, rupiah berdasarkan Jisdor Bank Indonesia juga melemah 0,25% dibanding hari sebelumnya menjadi Rp 16.325 per dolar AS.
Penguatan nilai tukar dolar AS pada hari ini menekan mayoritas mata uang global, terutama emerging markets. “Kami ragu untuk bersikap optimistis terhadap rupiah,” kata para ahli strategi Barclays yang dipimpin oleh Lemon Zhang dalam sebuah catatan yang dikutip Bloomberg.
Baca juga: LARIS MANIS Permen Banten Terjual Hingga 25 Bungkus Per Hari, Namun Simak Fakta Di Baliknya
Baca juga: JENAZAH Surata Dinanti Sang Istri & Keluarga, Korban KMP Tunu Ikuti Mulang Pakelem di Selat Bali
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan, sentimen yang mempengaruhi pergerakan rupiah di pekan ini beragam. Rupiah didukung oleh kesepakatan tarif yang memicu sentimen risk-on.
“Namun data-data ekonomi AS yang lebih kuat dan menurunnya ekspektasi pemangkasan suku bunga the Fed menekan rupiah, berimbas dari pernyataan Presiden AS Donald Trump yang sudah tidak akan memaksakan untuk mengganti Powell,” ujar Lukman kepada Kontan, Jumat (25/7).
Dengan semakin mendekati batas akhir penerapan tarif, Lukman memperkirakan kemungkinan akan muncul kesepakatan-kesepakatan dalam beberapa hari kedepan.
Idealnya kesepakatan ini akan memberikan sentimen positif bagi dolar AS. Namun tentunya tergantung dari detail kesepakatan itu sendiri. Sedangkan dari rapat FOMC, the Fed diperkirakan masih belum akan memangkas suku bunga dan juga mendukung dolar AS.
Dari sentimen dalam negeri, Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi mengatakan bahwa pemerintah masih optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2025 mampu menembus target 5,2%.
Seiring kondisi pasar yang lebih kondusif pada semester II-2025. Bertambahnya tantangan kondisi perekonomian skala global maupun domestik masih membutuhkan dorongan kebijakan akseleratif melalui APBN maupun non-APBN.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan mengambil langkah kebijakan yang bersifat countercyclical untuk meredam dampak fluktuasi ekonomi. Mendorong belanja pemerintah lebih produktif dan memberikan stimulus yang tepat sasaran baik bagi kalangan miskin, rentan terutama untuk kelas menengah.
Lukman memproyeksikan rupiah pekan depan akan diperdagangkan volatile dalam rentang berkisar Rp 16.150 – Rp 16.500 per dolar AS. Ibrahim memproyeksikan rupiah pekan depan bergerak dalam rentang Rp 16.270 – 16.390 per dolar AS.
Barclay memperkirakan mata uang Asia akan berkinerja lebih buruk jika dibandingkan dengan mata uang negara berkembang lain di tengah tahun ini.
Pergerakan rupiah sejalan dengan hampir seluruh mata uang di Asia. Hingga pukul 15.00 WIB, peso Filipina menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia setelah ditutup anjlok 0,81%.
Disusul, won Korea Selatan yang ambles 0,51%. Selanjutnya ada dolar Taiwan yang ditutup terkoreksi 0,37?n baht Thailand turun 0,32%. Lalu, yen Jepang tertekan 0, 26%.
Berikutnya, rupee India yang tergelincir 0,19?n yuan China yang koreksi 0,17%. Diikuti, dolar Singapura yang turun 0,15%. Kemudian ada ringgit Malaysia yang melemah tipis 0,08% terhadap the greenback pada sore ini. Sementara itu, dolar Hongkong menjadi satu-satu mata uang di Asia yang menguat setelah naik tipis 0,02%. (kontan)
Dorong Kenaikan Beban Bunga Utang
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang telah memasuki keseimbangan baru dinilai akan berdampak pada meningkatnya beban bunga utang pemerintah.
Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky mengingatkan bahwa tekanan terhadap fiskal Indonesia dapat semakin berat dalam beberapa tahun mendatang.
“Rupiah memang sudah di angka keseimbangan baru. Pada 2022, saat US Dollar Index (DXY) di level 97, rupiah masih di Rp 15.100. Sekarang DXY sudah kembali ke level 97, tapi rupiah tidak kembali ke angka yang sama. Sekarang ada di Rp 16.200,” ujar Yanuar, Kamis (24/7).
Dengan kondisi tersebut, menurut Yanuar, asumsi nilai tukar dalam APBN 2025 mencerminkan realitas kurs baru rupiah yang lebih lemah, terlepas dari potensi pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral AS, The Federal Reserve.
Ia memaparkan, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan pembengkakan beban bunga utang pemerintah. Pertama, pelemahan rupiah menyebabkan peningkatan risiko nilai tukar (forex risk) terhadap Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli asing pada 2022.
Kedua, penyesuaian yield yang terjadi karena transaksi jual beli SBN di kurs yang berbeda. “Selain itu, ada juga faktor penambahan volume utang. Hitungan kasar saya, beban bunga utang akan naik ke sekitar Rp 600 triliun,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yanuar mengingatkan potensi gagal bayar utang dalam tiga tahun ke depan, yang perlu diantisipasi secara serius. Tahun-tahun kritis tersebut adalah 2025, 2026, dan 2027, periode di mana penerimaan negara diperkirakan berada dalam tekanan.
“Yang perlu diwaspadai adalah potensi gagal bayar yang harus dicegah dalam tiga tahun kritis tersebut. Terlebih dengan bertambahnya utang publik non-pemerintah, yang berpotensi dilakukan BUMN dan lembaga lainnya. Itu bisa menambah tekanan terhadap likuiditas moneter (rupiah) dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan utang publik,” kata dia.
Dengan tantangan tersebut, pemerintah diharapkan dapat mengelola risiko fiskal secara hati-hati, termasuk melalui penguatan penerimaan negara, efisiensi belanja, serta strategi pembiayaan yang prudent. (kontan)