Berita Bali

Tiga Ensemble Tampilkan Eksplorasi Lintas Medium di Hari Ketiga Festival Mi-Reng 2025 di Bali

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Festival Mi-Reng 2025 - Tiga Ensemble Tampilkan Eksplorasi Lintas Medium di Hari Ketiga Festival Mi-Reng 2025 di Bali

Suara rendah jegog yang mentah dan repetitif dipertemukan dengan tekstur digital yang menggema dan terfragmentasi. Sebuah tafsir bunyi atas situasi jiwa zaman.

Sejak awal digagas, Mi-Reng: New Music for Gamelan tidak diniatkan sekadar sebagai festival musik, melainkan sebuah Ritus Cipta, ruang di mana gamelan didengar ulang, disusun dalam kebaruan dan kemungkinan cipta yang cemerlang; dimaknai sebagai bahasa ekspresi yang terus berdegup hidup. 

Nama “Mi-Reng” sendiri yang berarti “mendengar dengan saksama”, dalam bahasa Bali dan Jawa menjadi panggilan untuk bersikap hening namun tajam: menyimak bukan sekadar dengan telinga, tapi dengan kehadiran batin dan keberanian mencipta dari akar.

Kurator festival, Yudane, menyebut Mi-Reng sebagai wilayah bunyi yang menawarkan “kebaruan tanpa kehilangan jejak para pendahulu yang disikapi secara kritis.” 

Dalam semangat itu, festival ini menghadirkan keberanian untuk menjelajahi bentuk dan suara baru tanpa abai pada tradisi. 

Gamelan tidak dilihat sebagai artefak, melainkan sistem terbuka, sumber daya estetik yang terus dapat digali, dikreasi, dan dikritisi.

Dari Proses ke Panggung

Festival Mi-Reng 2025 merupakan kelanjutan dari proses panjang yang dimulai sejak awal tahun 2025. 

Pada April lalu, digelar program Lokacipta di Gedung Kompas Gramedia Ketewel dan Bentara Budaya Bali, melibatkan 20 peserta dari berbagai disiplin seni: komposer, penari, sound designer, penyair, dan perupa. 

Selama lima sesi intensif bersama para mentor seperti Dewa Alit, Janu Janardhana, Septian Dwi Cahyo, Made Kartawan, hingga Arif B. Prasetyo, peserta mendalami eksplorasi pelarasan, mikrotonalitas, rekaman sebagai metode cipta, hingga praktik tubuh dan teks dalam gamelan.

Mei 2025, Lokawacana digelar di Museum Wiswakarma Batubulan sebagai forum pertukaran pemikiran. 

Christopher J. Miller (Cornell University) menekankan bahwa Mi-Reng memberi paradigma segar untuk memahami musik gamelan di luar dikotomi “tradisi–kontemporer”.

Prof. I Made Bandem membentangkan sejarah panjang inovasi dalam karawitan Bali, dan Gema Swaratyagita memperkenalkan metode “Tubuka”—tubuh, bunyi, kata—sebagai basis kreatif yang menyatu.

Diskusi ditutup oleh Yudane dengan pernyataan yang merangkum semangat Mi-Reng: 

“Keberlangsungan gamelan bukan tergantung bentuknya, tapi dari keberanian kita untuk terus mendengar dengan kedalaman.”

Halaman
1234

Berita Terkini